DPR saat ini sedang kebut revisi UU Pembentukan Peraturan (UU No. 12 Tahun 2011). Salah satu bahasan krusial dalam revisi ini adalah memasukkan metode omnibus.
Selain itu, revisi ini juga ingin menguatkan partisipasi masyarakat dan mekanisme perbaikan atas kesalahan penulisan setelah RUU disetujui bersama oleh DPR dan pemerintah.
Jika metode omnibus masuk dalam revisi tersebut, maka UU Cipta Kerja – yang akan dibentuk ulang dan berproses dari awal – seakan-akan memiliki legitimasi formal yang kuat dari aspek metodologi.
Tidak ada lagi pertanyaan tentang landasan penggunaan metode omnibus.
Sekadar menempelkan metode omnibus adalah memberikan legitimasi formal atas persoalan metodologi dalam pembentukan UU Cipta Kerja.
Padahal persoalan metodologi legislasi juga terkait dengan legitimasi substantif dan legitimasi komunikatif.
Metodologi legislasi yang memberi ruang bagi pencapaian legitimasi substansial dan komunikatif mampu menunjukkan dua poin penting.
Pertama, bagaimana rasionalitas hukum, ekonomi, politik, dan sains menjelaskan urgensi sebuah undang-undang?
Kedua, bagaimana rasionalitas tersebut dibawa ke ruang publik dalam merumuskan argumentasi yang terbaik?
Legitimasi substantif berkaitan bagaimana kita dapat menerima undang-undang secara rasional.
Undang-undang rawan dikritik ketika dianggap semata-mata membawa kepentingan ekonomi dan politik.
Di sisi lain, ada rasionalitas hukum dan sains yang bisa jadi menawarkan argumentasi berbeda.
Di sinilah kemudian dapat muncul tarik menarik kepentingan yang perlu diteliti sebelum memutuskan untuk membuat undang-undang sebagai jawaban atas persoalan.
Naskah akademik pada hakikatnya berperan penting dalam merealisasikan legitimasi substantif dengan mengartikulasikan berbagai rasionalitas dan perspektif yang muncul.
Sebagai hasil penelitian, naskah akademik seharusnya tidak menjadi “pembenar” atas kemauan politik atau ekonomi yang muncul dari pemerintah.