JAKARTA, KOMPAS.com – Kepala Divisi Humas Polri, Irjen Dedi Prasetyo menyampaikan, kemerdekaan menyampaikan pendapat di muka umum harus sejalan dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Dedi menekanakan, semua warga negara memiliki hak konstitusional. Namun tidak bersifat absolut.
“Di dalam UU 9 Tahun 98 tetang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Publik itu sifatnya tidak absolut tapi sifatnya limitatif,” kata Dedi secara virtual, Senin (14/2/2022).
Dedi menjelaskan, pasal 6 beleid itu mengatur soal kewajiban para peserta aksi unjuk rasa saat mengemukakan pendapat di muka umum.
Baca juga: Alissa Wahid: Kemerdekaan Berpendapat Mudah Bergesekkan dengan Perasaan Tersinggung
Pasal 6 UU 9/1998 itu menyebutkan, warga negara yang menyampaikan pendapat di muka umum berkewajiban dan bertanggung jawab untuk menghormati hak-hak dan kebebasan orang lain.
Warga juga harus menghormati aturan-aturan moral yang diakui umum, menaati hukum dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya, menjaga dan menghormati keamanan dan ketertiban umum, serta menjaga keutuhan persatuan dan kesatuan bangsa.
Menurut Dedi, jika ada pihak yang melanggar aturan itu, polisi perlu melakukan tindakan tegas.
“Nah ini hal yang tidak bisa dilanggar, maka upaya kepolisian harus melakukan tindakan tegas,” kata dia.
Selain itu, polisi juga memiliki prosedur operasi standar (standard operating procedure/SOP) dalam menangani aksi unjuk rasa. Ia menegaskan, dalam SOP itu anggota polisi tidak boleh membawa senjata api (senpi) berpeluru tajam saat mengamankan aksi unjuk rasa.
“Tidak boleh satu anggota polisi bawa senpi peluru tajam saat unuk rasa, itu SOP-nya,” ucap Dedi.
Menurut dia, ada juga yang disebut sebagai tim antianarkis. Ia menyampaikan, pihak yang bisa mengerahkan tim antianarkis itu yakni kapolda sesuai dengan tahapan yang sudah dibuat.
Dedi menambahkan, polisi memiliki pemetaan zona tertentu terkait situasi demonstrasi yang diadakan masyarakat. Zona itu ditentukan dalam tiga warna, yakni zona hijau jika unjuk rasa masih zona damai.
“Kemudian zona kuning trennya sudah meningkat eskalasinya, kalau sudah zona merah di mana sudah ada korban jiwa baik masyrakat, aparat, dan juga ada tindakan-tindakan anarkistis, pembakaran fasilitas umum, properti,” imbuh dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.