PEMINDAHAN ibu kota negara (IKN) terus mendapatkan sorotan. Dari dalam negeri, pro dan kontra memenuhi pemberitaan media secara silih berganti.
Begitu pun dengan terpaan media asing yang cukup konstan dalam mengawal perpindahan IKN tersebut.
Dalam skala dunia, Indonesia lebih dikenal sebagai negara dengan penduduk terpadat ke-4 di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat.
Selain itu, juga predikat negara dengan pemeluk Muslim terbesar di dunia. Perhatian dunia memang tidak akan selalu tertuju pada Indonesia.
Namun pemindahan ibu kota jelas cukup menarik perhatian media-media asing. Terkhusus media dari negara-negara barat.
Premisnya, media barat selalu menarik sudut pandang lingkungan dalam pemindahan IKN.
Media-media mainstream dari barat seperti BBC, The Guardian, Deutsche Welle yang pernah menggunakan kata ‘sinking’ alias tenggelam sebagai sudut pandang utama dalam memberitakan pemindahan IKN tersebut.
Kondisi Jakarta yang berada di bawah permukaan laut bukan berita baru. Kondisi tanah Jakarta menurun 15 cm tiap tahunnya.
Hal ini berujung pada prediksi bahwa tahun 2050, beberapa bagian wilayah Jakarta Utara akan tenggelam hingga 4-5 m di bawah permukaan air laut.
Hal ini tentunya akan berdampak besar pada kehidupan masyarakat Jakarta tahun 2050, khususnya pada ketersediaan lahan huni Kota Jakarta (Chandrabuana: 2020).
Ironinya, sebagian besar perputaran ekonomi negara ini terjadi di Jakarta. Tak heran bila kita melihat kesenjangan yang luas terjadi di negara kita.
Beberapa sudut tertentu di kota besar (terutama di pulau jawa) bisa merasakan sinyal 5G. Namun berapa kilometer dari wilayah tersebut belum tentu mempunyai akses internet karena ketidakmampuan warga dalam mengakomodasinya.
Pada salah satu pidatonya, Presiden Joko Widodo pernah mengungkapkan harapan dengan pemindahan IKN akan mengurangi kesenjangan ekonomi dan sosial.
Dengan kata lain, pemindahan IKN sebenarnya lebih dari sekadar isu lingkungan.
Sejak isu climate change atau perubahan iklim menjadi concern banyak media-media barat, kondisi negara kita yang kebijakannya belum banyak berorientasi pada lingkungan memang menjadi ajang empuk untuk dikritisi.