JAKARTA, KOMPAS.com - Heru Hidayat, Presiden Komisaris PT Trada Alam Minera, merupakan satu dari delapan terdakwa kasus korupsi di PT Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (Asabri) (Persero).
Tindak pidana korupsi di PT Asabri disebut juga kasus megakorupsi karena nilai kerugian negara yang fantastis, mencapai Rp 22,7 triliun.
Kasus ini bermula dari kesepakatan para pejabat PT Asabri untuk melakukan investasi secara ilegal menggunakan dana perusahaan.
Dana investasi diambil dari hak para nasabah perusahaan, yaitu anggota Polri, TNI, dan aparatur sipil negara (ASN) Kementerian Pertahanan (Kemenhan).
Baca juga: Jaksa Diperintahkan Banding Vonis Heru Hidayat, Kejagung: Hakim Ingkari Rasa Keadilan
Adapun hak yang diambil itu merupakan biaya Tabungan Hari Tua (THT) dan Akumulasi Iuran Pensiun (AIP).
Heru menjalani sidang putusan pada Selasa (18/1/2022) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Jakarta.
Ia sempat dituntut pidana mati oleh jaksa penuntut umum (JPU) Kejaksaan Agung. Namun, hakim mengambil keputusan yang berbeda.
Lolos hukuman mati
Majelis hakim yang diketuai oleh IG Eko Purwanto dan empat hakim anggota, yakni Rosmina, Saifuddin Zuhri, Ali Muhtarom, dan Mulyono Dwi Purwanto, menjatuhkan vonis nihil untuk Heru.
Ia dinyatakan terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi bersama-sama, tetapi majelis hakim tidak memberikan pidana mati.
Majelis hakim berpedoman pada Pasal 67 Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP).
Baca juga: Alasan Hakim Tak Beri Vonis Hukuman Mati terhadap Heru Hidayat
Pasal itu menyatakan, seseorang yang telah dijatuhi pidana mati atau pidana penjara seumur hidup tidak boleh dijatuhi pidana lagi kecuali pencabutan hak-hak tertentu.
Sedangkan Heru telah divonis maksimal dalam perkara korupsi di Jiwasraya dengan pidana penjara seumur hidup.
“Maka, majelis hakim menjatuhkan pidana nihil pada terdakwa,” sebut hakim Eko.
Alasan tak kabulkan tuntutan jaksa