JAKARTA, KOMPAS.com – Hari itu, Kamis, 30 Desember 2021, malam baru berganti pagi.
Sedikitnya 40 orang dalam Kapal Riset (KR) Baruna Jaya akhirnya kembali menghirup udara Ibu Kota.
Kapal yang mereka tumpangi baru saja sandar di Pelabuhan Nizam Zachman, Muara Baru, Jakarta Utara.
“Kami berangkat sejak satu bulan lalu itu dari Selat Sunda, Samudra Hindia, lalu Malang, Denpasar, habis itu ke Sumba yang waktu itu gempa 7,5 skala Richter. Terakhir itu kami (berlayar) dari Sumba,” ujar Andika, salah satu teknisi ahli Balai Teknologi Survei Kelautan (Teksurla) Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Rabu (5/1/2022).
Baca juga: Peleburan Eijkman ke BRIN yang Buat Peneliti Muda Mencari Rumah Baru
Di tempat-tempat tersebut, Andika dkk melakukan pemetaan sekaligus pemasangan alat-alat deteksi dini tsunami dan gempa.
Pekerjaan ini merupakan bagian dari proyek InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning System – Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia) hasil pengembangan BPPT.
Proyek ini sangat krusial dalam mempercepat informasi peringatan dini potensi tsunami, yang menggunakan sensor di dasar laut guna melihat perbedaan-perbedaan tekanan air.
Data dari sensor itu lalu secara aktif dikirim ke buoy (pelampung) di permukaan laut melalui underwater acoustic modem.
Baca juga: AIPI: Mustahil Muncul Riset Bermutu bila Peneliti Diperlakukan Jadi Pegawai Kantor
Pelampung tersebut kemudian mentransmisikan data itu ke InaTOC (Indonesia Tsunami Observation Center – Pusat Pemantauan Tsunami Indonesia) di Jakarta.
“(Pemasangannya) sudah selesai semua. Sudah ada data gempa yang terkirim ke InaTOC di Thamrin itu. Jadi, kami pasang sudah langsung terhubung,” ujar Andika.
Usai merampungkan pekerjaan yang bisa menyelamatkan puluhan, ratusan, bahkan ribuan nyawa itu, Andika dan kolega hanya dapat mengambil napas panjang sesaat.
Andika bercerita, hari itu juga, seseorang yang mengaku perwakilan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) datang ke kapal.