JAKARTA, KOMPAS.com – Undang-Undang Cipta Kerja dan polemik ibarat dua sisi mata uang. Tak terpisahkan.
Pada 2020, pembahasan hingga pengesahan UU Cipta Kerja yang serbakilat dan tertutup menjadi preseden buruk bagi demokrasi.
Tahun 2021, UU Cipta Kerja terbukti inkonstitusional bersyarat, setahun usai permohonan uji formil didaftarkan oleh pemohon yang notabene sejumlah serikat pekerja ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Baca juga: [KALEIDOSKOP 2021] Rapor Merah Capaian Legislasi DPR dan Pelajaran dari UU Cipta Kerja
Putusan bahwa UU Cipta Kerja inkonstitusional dibacakan oleh majelis hakim MK Kamis (25/11/2021). Dengan putusan ini, maka UU Cipta Kerja terbukti cacat prosedur alias tidak berlandaskan tertib hukum, salah satunya karena tidak melibatkan partisipasi publik.
Majelis hakim mengabulkan permohonan pemohon sebagian, memutuskan bahwa UU Cipta Kerja tidak berkekuatan hukum yang mengikat apabila tidak dilakukan perbaikan dalam waktu dua tahun.
Baca juga: Siapa Kolonel P, Perwira TNI yang Tabrak dan Buang Hidup-hidup Handi-Salsa ke Sungai
Mari mengilas balik sepak terjang undang-undang kontroversial ini. Presiden Joko Widodo jadi orang yang mengusulkan pembentukannya ke DPR pada 7 Februari 2020.
Sejak masih berupa rancangan undang-undang (RUU), penolakan ramai di mana-mana karena beleid ini bias kepentingan oligarki. Dengan kata lain, dari segi substansi/isi, regulasi ini diprediksi menguntungkan elite dan merugikan yang bukan elite.
Baca juga: Sentilan dari Senayan untuk Gubernur Edy Rahmayadi yang Jewer Pelatih Biliar
Penolakan bergema dari mahasiswa, akademisi, organisasi masyarakat, hingga buruh. Demonstrasi pecah di belasan provinsi. Hampir 6.000 orang ditangkap polisi.
KontraS menerima sedikitnya 1.500 laporan kekerasan aparat. Para korban mulai dari mahasiswa hingga jurnalis yang sedang bekerja.
Badai unjuk rasa tak juga mengubah sikap pemerintah dan DPR. Pembahasannya di tengah pandemi Covid-19 jalan terus, meski kritik tak kurang banyak dilancarkan.