TAHUN ini akan segera kita lalui dan tinggal menghitung hari. Tahun 2022 yang dianggap sebagai tahun harapan akan segera kita jelang.
Dua tahun ini, 2020 dan 2021 negeri ini berjibaku melawan gelombang pandemi dan tekanan ekonomi. Indonesia memang tak sendiri. Hampir semua negara di dunia mengalami kondisi itu dengan tingkat yang bervariasi.
Menjelang tutup tahun ini, pandemi mulai agak terkendali. Angka kasus positif Covid-19 dan jumlah orang meninggal dunia akibat terpapar virus SARS-Cov-2 juga tak lagi tinggi. Tak hanya itu, tingkat keterisian tempat tidur rumah sakit juga berkurang signifikan. Hal yang sama juga terjadi di lokasi-lokasi karantina pasien Covid-19, termasuk Wisma Atlet.
Baca juga: KALEIDOSKOP 2021: Solidaritas di Tengah Pandemi Covid-19, Saat Warga Tergerak Bantu Sesama
Namun kita belum bisa bernapas lega. Pasalnya, virus ini masih ada dan bisa ‘menggila’ kapan saja. Pandemi belum berhenti dan masih terus membayangi.
Omicron, varian baru dari mutasi virus ini sudah terdeteksi masuk ke Indonesia dan menginfeksi sejumlah warga. Hingga Selasa (28/12/2021) sudah ada 47 orang yang terinfeksi varian baru dari virus yang mulai terdeteksi ada di Indonesia pada Maret 2020.
Varian baru Covid-19 ini dikhawatirkan akan memicu gelombang ketiga pandemi di negeri ini. Pasalnya, virus ini dianggap sangat mudah menyebar dan menular serta bisa menginfeksi orang yang sudah vaksin dua kali.
Kecemasan banyak kalangan ini beralasan. Karena, kerumunan dan mobilitas orang diyakini akan tinggi selama libur Natal dan Tahun Baru (Nataru) karena tak ada regulasi yang menghalangi.
Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri memang sudah menerbitkan Instruksi Menteri Dalam Negeri (Inmendagri) terkait upaya pengendalian penyebaran Covid-19 selama libur Nataru.
Namun, aturan yang diniatkan untuk menggantikan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) ini dianggap tak bisa membatasi berbagai kerumunan dan lalu lalang orang. Hal ini bisa dilihat dari ramainya sejumlah destinasi wisata, tempat hiburan dan pusat perbelanjaan.
Peta politik nasional juga bisa mengalami kontraksi dan ini bisa memengaruhi formasi koalisi partai-partai politik pendukung Jokowi.
Aroma persaingan dan gesekan terkait konstestasi ini sebenarnya sudah tercium beberapa bulan jelang akhir tahun ini. Hal ini bisa dilihat dari maraknya deklarasi dan pernyataan dukungan pada sejumlah politisi yang dianggap memiliki kans dan peluang untuk menang. Tak hanya itu, kampanye hitam juga mulai bertebaran.
Baca juga: Nasib Penanganan Pandemi di Tengah Kontestasi
Korupsi dan politik uang diprediksi akan terjadi terkait gelaran pesta demokrasi lima tahunan itu. Ongkos politik yang mahal diyakini akan membuat para politisi, khususnya yang menjadi pejabat mengingkari sumpah dan janji. Itu dilakukan demi bisa ‘membeli’ kursi agar syarat untuk maju sebagai calon presiden dan calon wakil presiden bisa terpenuhi.
Presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang tinggi dituding sebagai biang keladi rusaknya demokrasi. Pasalnya, aturan ini dinilai menghambat dan menghalangi munculnya calon-calon pemimpin bangsa yang mumpuni karena terkendala syarat jumlah kursi.
Aturan itu membatasi jumlah pasangan capres-cawapres yang bisa berkontestasi. Karena selain PDI-P, partai-partai lain harus membangun koalisi agar syarat minimal 20 persen dari jumlah kursi di DPR-RI atau 25 persen dari suara sah secara nasional pada pemilu anggota DPR RI sebelumnya bisa terpenuhi.