SEORANG sahabat saya yang bergelar doktor dengan pengalaman akademis yang memukau mendaftar seleksi untuk menjadi direktur jenderal (Dirjen) di sebuah kementerian.
Semua persyaratan telah lengkap. Semua tahapan telah diikuti dengan baik. Nama sahabat saya ini masuk dalam 10 besar untuk finalisasi.
Ia telah menyiapkan dengan baik visi misinya sebagai Dirjen. Busana untuk pelantikan pun sudah ia siapkan.
Dia begitu optimistis dan percaya dengan integritas panitia seleksi akhir. Begitu nama Dirjen disebutkan di proses rekrutmen akhir, sahabat saya lemas dan kecewa.
Dia ternyata melupakan satu hal: “cantelan” partai politik. Ia tidak punya "cantelan".
Sementara, Dirjen baru yang ditabalkan merupakan mantan tim pemenangan kampanye presiden. Di tempat kerja sebelumnya, Dirjen baru ini juga dikenal sebagai "corong" penyokong partai politik tertentu.
Kebetulan yang memang betul, sang menteri di kementerian tersebut juga berasal dari partai yang sama.
Sahabat saya yang piawai di riset kuantitatif, pengajar di sekolah kedinasan ternama, berlatar belakang pekerja media, dan mempunyai nilai akademis cum laude tidak berdaya menghadapi pesaingnya yang “diendorse” partai.
Kepandaian dan integritas tidak diperlukan lagi di era sekarang.
Bukan cuma sahabat saya yang satu ini yang gagal, sahabat-sahabat saya yang lain pun, yang modalnya "cuma" independensi dan integritas, mengalami nasib yang sama: gagal dan gagal lagi di berbagai seleksi anggota komisi yang membuka rekrutmen terbuka.
Bisa dipastikan, calon yang lolos di tahap akhir akan saling berburu mencari "cantelan" ke berbagai partai politik yang berkuasa.
Di era reformasi ini, usai era diktatorial Soeharto, partai politik menemukan singgasana kekuasaannya.
Kader maupun simpatisan partai politik (yang berkuasa) saling berlomba mengisi posisi, entah di jabatan publik, direktur, maupun komisaris badan usaha milik negara.
Kompetensi dan latar belakang pengalaman tidak begitu dipedulikan. Semua diisi orang yang “warna” partai politiknya sama atau berjasa sebagai tim sukses atau relawan.
Potensi ini berhasil dimaksimalkan di era pemimpin yang berhasil menguasai dua periode kepemimpinan.
Perilaku di era sekarang ini hanyalah meneruskan tabiat dan kelakuan rezim sebelumnya. Benar kata simbah saya, ”Adigang, adigung, adiguna”. Mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepintaran. untuk meraih jabatan.
Ada simbiosis mutualisme antara partai politik dan mereka yang duduk di berbagai posisi kekuasaan entah itu sebagai pejabat publik, komisioner di berbagai komisi, direktur dan komisaris, kepala desa, hingga jabatan di lingkungan perumahan seperti ketua rukun warga dan rukun tetangga.
Harus saling menguntungkan. Partai dapat apa, kamu mau apa?
Beberapa waktu lalu publik merasa jengah dan terkejut ketika foto-foto sejumlah pejabat di Kementerian Pertanian (Kementan) mengenakan seragam Kostranas Partai Nasdem yakni baju loreng biru beredar di berbagai lini masa dan pemberitaan media.
Acara dihadiri Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh dan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo yang juga kader Nasdem. Nampak juga pejabat Kementerian Pertanian yang mengenakan seragam partai tanpa malu-malu. Mereka terlihat tertawan lebar (Kompas.tv, 16 November 2021).
Baca: Foto PNS Kementan Pakai Baju Loreng Khas Partai Nasdem, Pimpinan DPR Ingatkan Kode Etik ASN