JAKARTA, KOMPAS.com - Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal meminta seluruh kepala daerah segera mencabut kebijakan upah minimum.
Dengan demikian ketentuan upah minimum kembali ditetapkan berdasarkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015.
Hal ini disampaikan Said dalam merespons putusan uji formil Mahkamah Konstitusi (MK) atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Adapun hingga Kamis (25/11/2021), 33 provinsi telah menetapkan upah minimum provinsi (UMP) 2022 berdasarkan UU Cipta Kerja.
"Seluruh gubernur, bupati, walikoya di wilayah Indonesia wajib mencabut SK perihal upah minimum atau UMP termasuk Gubernur DKI Anies Baswedan harus cabut SK UMP 2022," kata Said, dalam konferensi pers secara virtual, Kamis (25/11/2021).
Baca juga: Pakar: MK Mengonfirmasi Buruknya Perumusan UU Cipta Kerja
Said mengatakan, berdasarkan putusan MK, pemerintah dilarang mengeluarkan kebijakan strategis dan berdampak luas menggunakan UU Cipta Kerja.
Dia mengapresiasi putusan MK tersebut. KSPI dan organisasi buruh lainnya, kata Said, siap berpartisipasi dalam upaya memperbaiki UU sapu jagat tersebut.
"Kami akan ikuti siap sepanjang tidak melanggar UU dan sepanjang tidak mengurangi hak dasar buruh," ujarnya.
Dalam kesempatan yang sama, kuasa hukum KSPI Said Salahudin mengatakan, dengan adanya keputusan MK tersebut, maka seluruh aturan terkait ketenagakerjaan di dalam UU Cipta Kerja maupun aturan turunannya harus ditangguhkan.
Ia mengatakan, aturan ketenagakerjaan yang berdampak luas bagi kehidupan pekerja atau buruh di antaranya terkait upah pekerja, perjanjian kerja dan jam kerja.
"Dengan kata lain, kita bisa menafsirkan bahwa aturan-aturan ketenagakerjaan yang sifatnya strategis dan berdampak luas harus kembali kepada Undang-Undang Ketenagakerjaan," kata dia.
Baca juga: MK Putuskan UU Cipta Kerja Inkonstitusional Bersyarat, Apa Dampaknya?
Sebelumnya diberitakan, MK melarang pemerintah mengeluarkan kebijakan yang bersifat strategis terkait UU Cipta Kerja. .
Adapun larangan ini berkaitan dengan putusan MK yang menyatakan UU Cipta Kerja inkostitusional secara bersyarat dan menjadi permanen apabila tidak dilakukan perbaikan dalam kurun dua tahun sejak putusan diucapkan pada Kamis (25/11/2021).
"Menyatakan untuk menangguhkan segala tindakan kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan demgan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja," kata Ketua MK Anwar Usman dalam sidang yang disiarkan secara daring.
Dalam pertimbangannya, Mahkamah menilai, metode penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas apakah metode tersebut merupakan pembuataan UU baru atau melakukan revisi.