JAKARTA, KOMPAS.com – Masyarakat dari berbagai kalangan mengapresiasi aturan soal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di lingkungan kampus.
Dukungan atas kebijakan Peraturan Mendikbud Ristek (Permendikbud Ristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS) di Perguruan Tinggi ramai disuarakan melalui platform media sosial.
Permendikbud ristek ini dinilai sangat progresif dalam hal pencegahan dan penanganan kekerasan seksual yang berperspektif korban, salah satunya karena mengatur soal consent atau persetujuan.
Baca juga: Ramai-ramai Mendukung Penghapusan Kekerasan Seksual di Kampus
Pegiat hak asasi manusia (HAM), Nisrina Nadhifah (27) berpandangan, belum ada peraturan yang memiliki aspek pencegahan dan penanganan yang berpihak pada korban.
“Bahkan sangat spesifik ada pasal yang menyebutkan bahwa definisi kekerasan seksual itu adalah ketiadaan consent atau ketiadaan persetujuan dari kedua belah pihak,” kata Nisrina kepada Kompas.com, Rabu (10/11/2021).
Ketentuan mengenai consent diatur dalam Pasal 5 Permendikbud Ristek 30/2021. Jika korban tidak memberikan persetujuan, maka suatu tindakan dapat dikategorikan sebagai kekerasan seksual.
Tindakan yang dikategorikan kekerasan seksual yakni, memperlihatkan alat kelaminnya dengan sengaja tanpa persetujuan korban, mengambil, merekam, dan/atau mengedarkan foto dan/atau rekaman audio dan/atau visual Korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan Korban.
Selanjutnya, mengunggah foto tubuh dan/atau informasi pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban, menyebarkan informasi terkait tubuh dan/atau pribadi korban yang bernuansa seksual tanpa persetujuan korban.
Kemudian, menyentuh, mengusap, meraba, memegang, memeluk, mencium dan/atau menggosokkan bagian tubuhnya pada tubuh korban tanpa persetujuan korban dan membuka pakaian korban tanpa persetujuan korban.
Pada ayat selanjutnya, persetujuan dianggap tidak sah antara lain dalam hal usia korban usia belum dewasa, mengalami ancaman karena pelaku menyalahgunakan kedudukan, dan di bawah pengaruh obat-obatan, alkohol, atau narkoba. Kemudian ketika korban mengalami sakit, tidak sadar, atau tertidur.
Baca juga: Urgensi Mekanisme Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Kampus
Jaminan terhadap korban
Pelaksana Tugas (Plt) Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dirjen Dikti) Kemendikbud Ristek, Nizam menegaskan, consent dalam beleid ini merujuk pada konteks adanya unsur pemaksaan terkait suatu tindak kekerasan, bukan melegalkan zina.
Ia menegaskan, aturan ini hanya fokus pada pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus.
“Dalam KBBI kekerasan adalah sesuatu yang dipaksakan, ada unsur pemaksaan. Jadi kata consent tersebut dalam konteks unsur pemaksaan tadi. Sama sekali tidak ada dalam pikiran kami untuk melegalkan perzinaan,” kata Nizam, Rabu (10/11/2021).
Secara terpisah, Koordinator Pelaksana Harian Asosiasi LBH APIK, Khotimun Sutanti mengatakan, consent dapat menjadi salah satu indikator menentukan suatu tindakan dikategorikan sebagai suatu kekerasan seksual atau tidak.