JAKARTA, KOMPAS.com - Pegiat lingkungan hidup menggelar aksi dalam rangka mendesak pemerintah agar lebih berpihak kepada keselamatan rakyat dan lingkungan hidup.
Aksi ini dilakukan serentak oleh Eksekutif Daerah Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) bersama sejumlah organisasi terkait lingkungan hidup di 28 provinsi di Indonesia pada 5-6 November 2021.
"Aksi ini merupakan bagian dari aksi global untuk menuntut keadilan iklim dan aksi perlawanan atas sikap dan pilihan pengurus negara yang tidak berpihak pada keselamatan rakyat dan lingkungan hidup dengan menjamin adanya solusi berdasarkan keadilan iklim," tulis Direktur Eksekutif Nasional Walhi, Zenzi Suhadi dalam keterangan tertulis, Jumat (5/11/2021).
Baca juga: Menteri LHK Siti Sebut Deforestasi demi Pembangunan Jalan, Walhi: Lebih Banyak untuk Tambang
Aksi yang digelar di wilayah DKI Jakarta diadakan di sekitar Monas, Jakarta Pusat, Jumat sejak pukul 14.00 WIB.
Adapun, organisasi yang ikut dalam aksi itu diantaranya Jaga Rimba, Komunitas Pencinta Alam Arkadia, BEM FMIPA UI, Koalisi Rakyat untuk Hak Atas Air (Kruha), hingga Kelompok Mahasiswa Pecinta Lingkungan Hidup dan Kemanusiaan Kembara Insani Ibnu Batuttah (KMPLHK RANITA).
Dalam keterangan tertulisnya, Walhi menambahkan, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) COP26 di Glasgow, Skotlandia, Senin (1/11/2021) masih belum mengarah pada upaya memenuhi target Perjanjian Paris terkait upaya menghadapi perubahan iklim global.
Menurut Walhi, pelaksanaan COP26 juga tidak menunjukan adanya sifat inklusif karena perwakilan masyarakat sipil, masyarakat adat, perempuan dan anak muda dibatasi ruang geraknya dalam menyampaikan pendapat.
“Hal Ini menunjukkan tidak Inklusifnya pelaksanaan COP26 dan seolah menunjukkan bahwa konferensi Ini hanya untuk elit,” tulisnya.
Baca juga: 5 Isu Utama KTT Iklim COP26 Glasgow Hari Kedua
Sementara itu, perwakilan dari korporasi dan sektor bisnis justru difasilitasi dan diberi ruang dalam mempromosikan gagasan dan solusi palsu yang berdasarkan pada mekanisme pasar.
Menurut Zenzi, skema perdagangan karbon dan offset emisi merupakan skema yang keliru.
Sebab, menurutnya, skema itu tidak efektif mengurangi emisi secara drastic, cepat, serta tidak menjadikan rakyat sebagai subyek.
Lebih lanjut, ia menekankan skema perdagangan karbon akan memperluas konflik, perampasan tanah, hingga memperuncing ketidakadilan.
“Perdagangan karbon dan offset emisi tidak lebih dari sekedar perampasan ruang hidup rakyat dengan kedok hijau serta menjadi skema greenwashing bagi korporasi perusak lingkungan,” ujarnya.
Zenzi juga menyebut pemerintah Indonesia selalu menjanjikan kemajuan bagi bangsa, namun dalam perundingan-perundingan Internasional cenderung mengekor kebijakan mayoritas.
Baca juga: Kesepakatan di COP26, Pemakaian Batu Bara Bakal Dihentikan
Maka itu, ia menyayangkan Indonesia mengikuti skema perdagangan karbon tersebut.
“Celakanya skema inilah yang juga didorong oleh Indonesia, sebagaimana disampaikan Presiden Joko Widodo dalam pidatonya di COP26,” tulisnya.
Lebih lanjut, Walhi mendesak pemerintah menyusun ulang kebijakan dan fokus kepada pemulihan lingkungan dan hak rakyat.
Zenzi menegaskan, negara harus berani memaksa korporasi untuk bertanggung jawab atas kerusakan dan kontribusinya terhadap krisis iklim disertai memulihkan kerusakan yang telah mereka lakukan.
“Negara juga harus berani mengoreksi dan mengubah kebijakan yang meletakan investasi sebagai tujuan utama diatas keselamatan rakyat dan lingkungan hidup,” imbuhnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.