JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawat mengatakan, kasus kekerasan seksual sering tidak ditangani dengan baik oleh aparat penegak hukum.
Menurut Asfinawati, masalah itu muncul karena banyaknya aparat yang justru memberikan stigma negatif terhadap korban yang melapor.
"Ada stigma kepada korban kekerasan seksual secara umum, misalnya justru disalahkan oleh aparat, atau dikecilkan pengalamannya," ujar Asfinawati saat dihubungi, Jumat (8/10/2021).
Baca juga: Polisi: Kasus Pemerkosaan di Luwu Timur Bisa Dibuka Lagi jika Ada Bukti Baru
Selain itu, lanjut Asfinawati, aparat penegak hukum sering berpandangan bahwa korban tidak benar-benar mengalami pelecehan atau kekerasan seksual.
Jika tidak, korban justru dianggap sebagai pihak yang menyebabkan dirinya dilecehkan atau menjadi korban kekerasan seksual.
"Stigmatisasi juga muncul kalau korban tidak benar-benar mengalami atau korban yang membuat kejadian yang dialaminya," tutur dia.
Asfinawati mengungkapkan, banyak korban yang melaporkan perkara pelecehan seksual justru dimintai bukti.
"Padahal mencari bukti merupakan pekerjaan penyidik," kata dia.
Baca juga: Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan
Diketahui perkara kekerasan seksual kembali menjadi perhatian publik setelah Project Multatuli menuliskan reportasenya tentang seorang Ibu bernama Lydia (nama samaran) yang melaporkan dugaan tindakan pemerkosaan oleh mantan suaminya kepada ketiga anaknya.
Lydia melaporkan perkara itu pada 2019 ke Polres Luwu Timur, Sulawesi Selatan namun pihak kepolisian menutup kasusnya dengan alasan tidak menemukan cukup bukti.
Setelah reportase Project Multatuli viral di media sosial, Polres Luwu Timur menuding berita itu merupakan hoaks.
Aliansi Jurnalisme Indonesia (AJI) mengecam tindakan pelabelan hoaks dengan serampangan itu.
Baca juga: AJI Kecam Pelabelan Hoaks terhadap Berita Kasus Kekerasan Seksual di Luwu Timur