LENGSERNYA Soeharto pada 21 Mei 1998 menandai babak baru perpolitikan Indonesia. Ini seturut pudarnya dominasi Golongan Karya (Golkar) pasca-reformasi.
Situasi tersebut membuka peluang baru bagi sekian banyak tokoh politik di Indonesia untuk mendirikan partai politik (parpol) baru dan berkontestasi pada pemilu pertama di era reformasi yang diselenggarakan pada 7 Juni 1999.
Ada yang menyebut, penyelenggaraan Pemilu 1999 merupakan langkah berani Presiden Ketiga Indonesia BJ Habibie untuk menyelamatkan demokrasi di Indonesia.
Saat itu, pemilu diikuti 48 parpol. Ada tiga parpol lama dan selebihnya merupakan parpol baru.
Pemilu yang menelan dana Rp 1,3 triliun tersebut menghasilkan lima pemenang dengan raihan suara terbesar yakni PDI Perjuangan, Golkar, PPP, PKB, dan PAN.
Selaku pemenang pemilu dengan perolehan 33,74 persen suara, PDI Perjuangan seharusnya berpeluang besar menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai presiden.
Namun, politik sebagai seni dan the real politic menggagalkan langkah Megawati sebagai orang nomor satu di Republik ini.
Dalam voting yang berlangsung menegangkan, Abdurrahman Wahid terpilih sebagai presiden. Pendiri PKB—parpol peraih urutan terbesar keempat suara—itu kemudian disumpah sebagai Presiden Keempat Republik Indonesia.
Baca juga: Memahami Megawati Soekarnoputri...
Boleh saja ini dianggap sebagai sebuah kebetulan. Namun, nuansa penolakan terhadap Megawati untuk bisa menjadi presiden terasa begitu kuat saat itu.
Para politikus yang didominasi pria belum rela jika Indonesia dipimpin oleh seorang perempuan dari parpol berlatar belakang nasionalis.
Terpilihnya Gus Dur—panggilan untuk Abdurrahman Wahid—sebagai Presiden Keempat Indonesia menempatkan Megawati Soekarnoputri sebagai Wakil Presiden Kedelapan Indonesia.
Megawati yang selama Orde Baru berseberangan dengan Istana, pada 1999 bertransformasi menjadi tokoh sangat penting yang dekat dengan Istana. Megawati menjadi perempuan pertama Indonesia yang menjadi wakil presiden.
Seturut dinamika politik, putri sang proklamator itu pun lalu dilantik menjadi Presiden Kelima Indonesia pada 23 Juli 2001. Di tahap ini, ungkapan populer dari Megawati yang menyebut bahwa hidup itu ibarat cakra manggilingan benar-benar terbukti.
Cakra manggilingan merupakan filosofi Jawa yang menjelaskan bahwa kehidupan itu berjalan dinamis seperti roda yang berputar. Ada saatnya bagian roda berada di atas dan kemudian berpindah ke bawah.
Di masa Orde Baru, PDI—cikal bakal PDI-P yang pecah karena intervensi pemerintah—selalu berada di urutan terakhir dalam hal perolehan suara, yaitu urutan ketiga dari tiga kekuatan politik yang saat itu boleh ikut pemilu.
Baca juga: Kejatuhan (daripada) Soeharto
Namun, pada Pemilu 1999, parpol urutan buncit yang sudah menggunakan terminologi nama baru yaitu PDI Perjuangan atau PDI-P itu melejit menjadi nomor satu.
Perolehan suara PDI Perjuangan dari setiap pemilu tidak lepas dari figur Megawati. Keputusan Megawati untuk berpolitik terikat erat dengan garis genetiknya sebagai anak Sukarno.
Megawati adalah putri presiden yang melihat langsung saat sang ayah diusir dari Istana Negara dan kemudian dibatasi ruang gerak politiknya oleh rezim Orde Baru.
Merujuk pada Tri Marhaeni Pudji Astuti (1994), terdapat lima faktor dasar yang memengaruhi kemunculan Megawati sebagai tokoh serta pemimpin organisasi politik.