JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy meminta masyarakat maklum apabila keputusan pemerintah dalam menangani pandemi COvid-19 tidak bisa final.
Hal tersebut karena pemerintah berpegang pada pendapat para ahli dan ilmuwan yang pemikirannya berbeda-beda dalam membaca perilaku Covid-19.
Teori-teori yang diajukan para ahli, kata dia, seluruhnya menjadi sangat spekulatif sehingga apabila terdapat 5 ahli, maka pendapat yang mucul bisa 10 sehingga tidak ada satu pun pendapat yang final dan bisa dijadikan patokan.
"Dalam menghadapi kondisi seperti itu, karena pemerintah juga berpegang pada pendapat ahli, para ilmuwan dari peguruan tinggi yang berbeda-beda (pendapatnya), maka mohon dimaklumi jika keputusan pemerintah juga tidak bisa final untuk bisa dianggap kebenaran tunggal," ujar Muhadjir di acara Webinar 83 Tahun Sinar Mas bertajuk Indonesia Sehat, Ekonomi Bangkit, Selasa (14/9/2021).
Baca juga: Menkes Ungkap Dua Skenario Penanganan Covid-19 di Tahun 2022
Muhadjir mengatakan, saat ini juga tidak ada satu pun negara yang sudah menemukan rumus jitu untuk menaklukkan Covid-19.
Terlebih saat ini perilaku penyakit yang disebabkan virus SARS-CoV2 itu berubah-ubah dengan mutasinya yang terus berkembang.
"Perilaku-perilaku mutasi pun saya belum menemukan teori yang betul-betul bisa dipercaya," kata dia.
"Ini juga akan terus bergerak karena itu sementara ini boleh dikatakan suatu hipotesis bahwa Covid-19 tidak mungkin tuntas dalam waktu singkat dan tidak mungkin berhenti begitu saja," lanjut Muhadjir.
Baca juga: Ketua Satgas Sebut Penanganan Covid-19 di Tanah Air Perlu Ubah Perilaku Masyarakat
Lebih lanjut Muhadjir mengakui bahwa virus penyebab Covid-19 merupakan virus tercerdas yang pernah muncul di dunia.
Sebab, kata dia, virus tersebut membuat semua orang kesulitan dan tidak mengetahui apa yang harus diperbuatnya.
Terlebih saat pertama kali muncul di Wuhan, China hingga menyebar ke negara-negara lainnya di seluruh dunia.
"Karena dia (Covid-19) bisa membuat orang yang tadinya pintar jadi agak bodoh. Ilmuwan-ilmuwan dibikin jungkir balik, bagaimana para epidemiolog bikin model-model untuk membaca perilakunya. Semua hampir dikatakan tidak ada yang betul-betul persis (mampu membaca perilakunya)," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.