JAKARTA, KOMPAS.com - Tak hanya sebagai aktivis, nama Wiji Thukul selama ini dikenal sebagai seorang penulis puisi perjuangan.
Yang khas dari puisi Wiji Thukul adalah bahwa ia bukan menulis puisi tentang protes, melainkan sosoknya menjadi simbol akan protes itu sendiri. Karena itu, puisinya gampang melebur dalam setiap momen pergolakan dan berbagai aksi protes.
Salah satu kalimatnya yang sangat terkenal adalah bait terakhir pada puisi berjudul Peringatan, yaitu "Hanya ada satu kata: Lawan!".
Dalam Seri Buku Tempo, Prahara Orde Baru Wiji Thukul yang diterbitkan Kepustakaan Populer Gramedia menjelaskan bahwa sebenarnya kata 'lawan' tersebut tak murni ide Wiji Thukul.
Baca juga: 25 Tahun Kudatuli: Peristiwa Mencekam di Kantor PDI
Ia terpengaruh oleh sebuah pusi yang dibuat oleh Pardi, temannya di teater Jagat yang merupakan seorang tukang kebun. Puisi Pardi itu berjudul Sumpah Bambu Runcing.
Pada sajak Pardi, kalimat Hanya ada satu kata: lawan, yang digunakan untuk sebuah sajak mengenai perjuangan melawan Belanda oleh Thukul diambil untuk perjuangan buruh.
Nama asli Wiji Thukul sesungguhnya adalah Wiji Widodo. Nama Widodo diubah menjadi Thukul oleh Cempe Lawu Warta, anggota Bengkel Teater yang diasuh oleh penyair WS Rendra. Wiji Thukul berarti biji tumbuh.
Tidak hanya dekat, Wiji Thukul bahkan meraih penghargaan pada 1991: Werheim Encourage Award dari Wertheim Stichting Belanda, bersama WS Rendra.
Baca juga: Perjalanan PDI Perjuangan: dari Kudatuli, Oposisi, Dominasi, hingga Pandemi
Wiji Thukul lahir dari keluarga penarik becak pada 26 Agustus 1963 di kampung Buruh Sorogenen, Solo.
Setelah lulus SMP, ia melanjutkan pendidikan di Jurusan Tari Sekolah Menengah Karawitan Indonesia, tapi tidak tamat, hanya sampai kelas II. Ia berhenti sekolah untuk bekerja agar adik-adiknya bisa melanjutkan studi.
Pekerjaan pertama Wiji Thukul adalah sebagai loper koran. Lalu ia menjadi calo tiket, dan tukang pelitur furnitur di perusahaan mebel. Ia juga mengamen puisi ke kampung dan kota-kota.
Baca juga: [POPULER NASIONAL] Peristiwa Kudatuli | Tatap Muka di Sekolah di Luar Zona Hijau