JAKARTA, KOMPAS.com - Ahli epidemiolog Universitas Indonesia Pandu Riono menyampaikan kekecewaannya lantaran Ivermectin dianggap seperti permen dan dibagi-bagikan oleh sejumlah orang termasuk pejabat.
Padahal, kata Pandu Ivermectin termasuk obat keras yang bisa merugikan jika penggunaannya tidak sesuai dengan indikasi.
"Yang membuat saya kecewa ketika obat ini seperti permen. Jadi dibagi-bagi sekelompok orang, bahkan menurut saya oleh pejabat publik yang ngerti kalau itu tidak etis dan bukan wewenangnya untuk membagikannya kepada masyarakat, bahwa ini obat berbahaya," kata Pandu melalui konferensi pers, Jumat (2/7/2021).
Baca juga: BPOM: Ivermectin Obat Keras, Ada Efek Samping dan Harus Sesuai Resep Dokter
Saat ini, menurut Pandu obat Ivermectin banyak dicari oleh masyarakat karena telanjur percaya jika obat ini mampu mencegah dan mengobati Covid-19.
Faktanya, belum ada bukti ilmiah yang membuktikan hal tersebut karena obat tersebut masih dalam tahap uji klinik.
Bahkan Organisasi Kesehatan Dunia atau WHO pun secara tegas menyebut jika Ivermectin untuk obat Covid-19 hanya boleh dipakai dalam uji klinis.
Ini karena hasil uji yang dilakukan WHO terhadap penggunaan Ivermectin untuk pengobatan pasien Covid-19 masih “inconclusive” atau belum dapat disimpulkan hasilnya.
"Apalagi obat ini dianggap seperti obat dewa. Bisa mencegah, bisa mengobati seperrti dicari-cari orang dan itu menjadi sesuatu yang tidak sesuai dengan aturan," kata Pandu.
Baca juga: Epidemiolog: Ivermectin Obat Keras, tapi Dibagi-bagikan Kayak Permen oleh Pejabat
Pandu meminta seseorang yang memiliki pengaruh besar agar mengedukasi masyarakat dengan tidak mempromosikan Ivermectin sebagai obat Covid-19.
"Semuanya percaya, dari pejabat, masyarakat, selebriti, melakukan hal-hal yang menurut saya tidak mengedukasi bahkan mempromosikan sesuatu yang belum benar. Mohonlah pada siapa pun yang punya banyak pengaruh, kita harus menjadi edukator masyarakat," kata Pandu.
"Jangan kita mendidik seperti dengan obat ini kita sembuh. Jadi jangan percaya dengan klaim-klaim obat yang belum tentu benar. Tanpa riset yang baik, kita harus skeptis," ujar Pandu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.