JAKARTA, KOMPAS.com - Koordinator Nasional Jaringan Gusdurian Alissa Wahid mendukung pemerintah memberikan sanksi tegas bagi pelanggar protokol kesehatan (prokes).
Hal itu dinilai perlu sebagai upaya menertibkan masyarakat berperilaku hidup sehat agar terhidar dari paparan virus corona.
"Kami mendukung sanksi itu perlu, sekarang ini orang lengah, karena itu perlu ada batasan perilaku yang itu di-impulse oleh pihak ototitas," kata Alissa kepada Kompas.com, Selasa (29/6/2021).
Alissa mencontohkan protokol kesehatan layaknya sabuk pengaman ketika berkendara menggunakan mobil.
Pemerintah, kata dia, tidak bisa mengharapkan masyarakat menggunakan sabuk pengaman agar aman dalam berkendara.
Akan tetapi, pemerintah harus memberi sanksi berupa tilang bagi pengendara yang tidak menggunakan sabuk pengaman.
Baca juga: Kasus Covid-19 Melonjak, Pemerintah Bahas Revisi Aturan PPKM Mikro
"Kita enggak bisa mengharapkan orang kemudian menyadari bahwa dia perlu pakai sabuk pengaman supaya aman gitu, itu enggak bisa, orang Indonesia itu pakai sabuk pengaman karena takut ditilang," ucap Alissa.
"Jadi harus ada sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan," tutur dia.
Lebih lanjut, untuk mengatasi lonjakan kasus Covid-19 tersebut, Alissa mengatakan, sejumlah tokoh masyarakat telah meminta pemerintah untuk menarik rem darurat.
Selain dirinya, permintaan itu juga dilontarkan oleh sosiolog Imam Prasodjo, Guru Besar STF Driyarkara Franz Magnis-Suseno, ekonom Faisal Basri, Pemerhati Publik Abdillah Toha, Ekonom Vivi Alatas hingga Ulama NU KH A Mustofa Bisri.
Selain itu, ada pula presenter Andy F Noya, seniman Ernest Prakasa, Dosen Monash University Nadirsyah Hosen, peneliti ISEAS Yanuar Nugroho, Dosen FIB UGM Achmad Munjid, Dosen SBM ITB Kuntoro Mangunsubroto serta Dosen FEB UGM sekaligus inisiator Sambatan Jogja (Sonjo) Rimawan Pradiptyo.
"Kenapa kita menyebutnya tarik rem darurat? Karena kita melihat betul sampai saat ini pemerintah itu seperti gamang begitu, lebih banyak melakukan imbauan," kata Alissa.
Baca juga: Rencana Revisi Aturan PPKM Mikro, Restoran Hanya Boleh Take Away hingga Pukul 20.00
Alissa menilai, implementasi pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) berskala mikro tidak efektif. Hal ini ditunjukkan dengan pola mobilitas masyarakat yang tidak berubah.
"Artinya, ya sudah sebatas ditentukan tetapi tidak ditegakkan. Seperti halnya orang shalat tetapi tidak menegakkan shalat," kata Alissa.
Alissa menyoroti aturan PPKM yang hanya membatasi sejumlah kegiatan, misalnya kantor, restoran, dan tempat yang berpotensi timbulkan keramaian. Akan tetapi, mobilitas masyarakat tidak dibatasi oleh pemerintah.