JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Maneger Nasution mengatakan, jumlah permohonan publik yang menjadi korban ataupun saksi berkaitan dengan tindak pidana penyiksaan pada tahun 2020 tidak terlalu banyak.
Namun, kata dia, hal itu bukan berarti tindak kekerasan yang terjadi di masyarakat berkurang.
"Tahun 2020 misalnya, permohonan yang masuk itu 37 orang. Tetapi meskipun angka ini tidak terlalu besar, tetapi kita meyakini bahwa penyiksaan bukan berarti berkurang di masyarakat kita," kata Maneger dalam diskusi daring, Jumat (25/6/2021).
"Ia semacam gejala gunung es saja yang lapor segitu, tapi sesungguhnya faktanya di masyarakat bisa lebih dari itu," lanjut dia.
Maneger mengatakan, sebenarnya ada beberapa faktor penyebab mengapa angka laporan yang masuk ke LPSK tidak menggambarkan situasi yang sesungguhnya.
Baca juga: LPSK Jamin Perlindungan Saksi Kasus Pembunuhan Jurnalis di Sumut
Pertama, karakter tindak pidana penyiksaan merupakan kejahatan struktural yang terjadi pada tempat-tempat di mana warga negara mestinya mendapat perlindungan dari negara.
Tetapi, penyiksaan justru selalu terjadi pada rumah-rumah yang seharusnya menjadi tempat aman bagi warga negara.
"Karena ia kejahatan struktural, maka biasanya akses publik itu terbatas memang. Akses publik untuk mengetahui itu maupun saksi yang muncul atau mau untuk memberikan kesaksian juga terasa kurang," ujarnya.
Faktor selanjutnya adalah ketakutan publik karena tidak semua korban maupun saksi itu berani melapor karena dianggap akan menghabiskan waktu.
Sehingga, masyarakat kita kalau pun mengetahui ada peristiwa kekerasan atau bukan kekerasan, belum tentu berkenan melapor.
"Ada lagi faktor mindset, ini soal misalnya kita kemarin berkunjung ke Palu misalnya, masih ada aparat kita yang masih berpikiran kalau orang salah lalu masuk ke rumah tahanan atau kalau disentil sedikit masih wajar lah orang jahat," ungkapnya.
Baca juga: LPSK Siap Berikan Perlindungan Korban Dugaan Pelecehan Gofar Hilman
Faktor terakhir adalah soal perspektif di sebagian aparat yang menganggap pengakuan tersangka segala-galanya.
Padahal menurut dia, dalam paradigma hukum pidana, paradigma baru sesungguhnya pengakuan tidak segala-galanya.
"Karena itu mereka mengejar pengakuan itu ada butuhnya. Dalam paradigma hukum pidana kita yang baru, sesungguhnya pengakuan tidak segala-galanya," ucap dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.