JAKARTA, KOMPAS.com - Ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Puan Maharani mengatakan, DPR telah menerima surat presiden (surpres) terkait Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP).
Hal itu disampaikan Puan dalam Rapat Paripurna DPR ke-21 Masa Persidangan V Tahun Sidang 2020-2021 yang digelar di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (22/6/2021).
"Pimpinan dewan telah menerima lima pucuk surat dari Presiden RI, yaitu, satu, (nomor) R21, tanggal 5 Mei 2021 hal Rancangan Undang-Undang tentang perubahan kelima atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan," kata Puan, dikutip dari tayangan akun YouTube DPR RI, Selasa.
Baca juga: Soal PPN Sembako, Komisi XI DPR: Tarik dan Revisi Isi RUU KUP
Puan mengatakan, pimpinan DPR juga telah menerima Surpres Nomor R22 pada 5 Mei 2021 mengenai RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah.
Kemudian, Surpres Nomor R23 tanggal 19 Mei 2021 mengenai permohonan pertimbangan atas pencalonan duta luar biasa dan berkuasa penuh dari negara sahabat untuk Republik Indonesia.
Selanjutnya, Surpres Nomor R25 tanggal 4 Juni 2021 perihal permohonan pertimbangan bagi calon duta besar Republik Indonesia untuk negara sahabat dan organisasi internasional.
Terakhir, Surpres Nomor R26 tanggal 7 Juni 2021 mengenai permohonan pertimbangan atas pencalonan duta besar luar biasa dan berkuasa penuh dari negara sahabat untuk Republik Indonesia.
"Surat-surat tersebut telah dan akan ditindaklanjuti sesuai dengan ketentuan Peraturan DPR RI Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR RI dan mekanisme yang berlaku," kata Puan.
Rencana revisi UU KUP menjadi sorotan publik dalam beberapa waktu terakhir karena mengatur pengenaan pajak pertambahan nilai (PPN) terhadap sembako.
Baca juga: Polemik PPN Sembako, DPR: Kita Tak Tahu Itu Draf RUU KUP atau Bukan
Hal itu diketahui berdasarkan bocoran draf RUU KUP yang beredar di publik.
Aturan tentang PPN sebelumnya telah diubah dalam UU Cipta Kerja, yang menggantikan sejumlah ketentuan dalam UU Nomor 8 Tahun 1983 terkait PPN.
Dalam UU Cipta Kerja, diatur bahwa perubahan Pasal 4A UU Nomor 8 Tahun 1983 masih memasukkan "barang kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak" dikecualikan dari PPN.
Namun, Pasal 44E dalam draf perubahan kelima UU Nomor 6 Tahun 1983 itu menghapus sembako dikecualikan dari pengenaan PPN.
Belakangan, Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Neilmaldrin Noor mengatakan, sembako non-premium yang dibeli di pasar tradisional akan terbebas dari PPN.
Tarif PPN sembako premium akan berbeda dengan beras Bulog maupun daging sapi biasa.
Baca juga: Stafsus Menkeu: Wacana PPN Sembako Hanya Bagian Kecil dari RUU KUP yang Dipotong
Besaran tarif yang dikenakan akan menyesuaikan kemampuan membayar (ability to pay) konsumen antara masyarakat kelas atas dan masyarakat kelas bawah.
Namun, besaran tarifnya masih didiskusikan lebih lanjut. Besaran tarif perlu didiskusikan lebih lanjut di internal kementerian sebelum dibawa diskusi ke Senayan.
"Oleh karena itu agar tidak memperpanjang polemik publik saya sampaikan bahwa, barang kebutuhan pokok yang dikenakan adalah kebutuhan pokok yang premium," ucap Neil dalam konferensi video, Senin (14/6/2021).
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.