JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Eksternal Komnas HAM Amiruddin meminta agar revisi Undang-Undang Otonomi Khusus Papua tidak hanya terpaku kepada dua pasal, yaitu tentang dana otsus dan pemekaran wilayah.
Menurut dia, untuk membahas revisi UU Otsus Papua harus dipahami terlebih dahulu situasi Papua terkini, di mana ada persoalan mendesak dan mendasar karena banyaknya peristiwa kekerasan.
"Pertama, saya mau katakan dalam konteks mendasar, hampir dalam waktu yang cukup panjang, selama otonomi khusus juga kita implementasikan di Papua. Kita terus menerus mendengar berulang kali terjadinya peristiwa kekerasan di Papua," kata Amiruddin dalam rapat kerja Pansus RUU Otsus Papua dengan Ketua Komnas HAM, Selasa (8/6/2021).
Baca juga: Pembahasan RUU Otsus Papua, Komnas HAM Ingatkan soal Dasar Hukum Pendirian Kantor Perwakilan
Ia mengatakan, meski UU Otsus Papua telah ada hampir 20 tahun lamanya, persoalan dan peristiwa kekerasan di Papua tetap terjadi.
Bahkan, peristiwa itu berulang kali terjadi dan menimbulkan korban yang tak sedikit baik dari masyarakat maupun aparat.
"Siapa pun bisa menjadi korban dalam situasi yang konfliktual seperti ini, dan di tengah adanya kelompok bersenjata," ujarnya.
Selain itu, Amiruddin juga mengingatkan belum terkontrolnya penegakan hukum di Papua juga berakibat pada timbulnya persoalan mendasar yaitu kekerasan.
Baca juga: Mendagri Harap UU Otsus Bisa Jawab Persoalan SDM di Papua
Mendengar selalu ada kekerasan di Papua, Komnas HAM merasa hal tersebut harus segera dihentikan.
Menurut Amiruddin, penghentian kekerasan di Papua juga sebagai salah satu jalan untuk mewujudkan tujuan dari revisi UU Otsus Papua.
"Kalau saya mengingat dulu, tujuan UU ini adalah untuk menegakkan keadilan dengan sendirinya juga adalah untuk menghentikan kekerasan ini," kata dia.
Kemudian, dalam konteks mendesak, Amiruddin menegaskan artinya bahwa situasi kekerasan di Papua tidak boleh dibiarkan terlalu lama.
Baca juga: Soal Prolegnas Prioritas 2021, Puan Minta Partisipasi Masyarakat dalam Pembahasan RUU Otsus Papua