SEORANG petani muda pernah berseloroh pada kami, ia ingin menjadi presiden kedelapan republik ini. Mendengar ia bertekad demikian, sungguh kami tak terkejut sama sekali. Toh begitulah wajah negeri kita sekarang.
Jika seorang pemuda bau kencur bisa jadi walikota, kenapa petani tak boleh? Bilamana seorang penjahat perang dengan mudah mencalonkan diri bolak-balik sebagai orang nomor satu Indonesia, kenapa pula penjual cabai tak diberi perkenan yang sama?
Beginilah kita. Pokoknya setan alas pun bisa jadi presiden, setelah ia mendirikan partai dan tentu, harus jadi ketuanya terlebih dahulu. Setelah itu, ia bebas bertingkah bak pemilik tunggal Nusaraya kita tercinta. Seolah nenek moyangnya-lah yang mewariskan tanah keramat ini, khusus untuknya seorang.
Bagi Anda yang tak mampu, atau lebih tepatnya belum punya kesempatan mendirikan partai, jangan khawatir. Cukup mencoblos wajah mereka di lembar suara pada pemilihan umum. Nanti kalau Anda lihat ia berubah jadi munyuk, silakan rutuki pilihan sendiri. Gampang kan.
Sejatinya, kami ngungun juga menyikapi kondisi tersebut. Betapa tidak, Kisanak. Dari mana juntrungannya, partai kemudian menjadi perwakilan rakyat, bila proses awalnya saja sudah naudzubillah. Kecuali pendiri negara, sampai presiden keempat saja yang tak mengeluarkan sepeser uang pun untuk itu. Sisanya, harus menyetor upeti triliunan dulu ke kas partai masing-masing.
Lebih ajaib lagi, hal itu juga berlaku sampai ke tingkat kades. Jadi dengan kata lain, seluruh jabatan yang katanya dialamatkan untuk kemaslahatan rakyat, ternyata sekadar jual-beli semata. Lingkaran setan inilah yang jadi pemicu korupsi bertubi-tubi. Sampai kiamat sekali pun, jangan harap suara rakyat itu kan mewujud suara tuhan. Omong kosong!
Jika memang Pemerintah yang berkuasa kali ini punya itikad baik, hapus semua kekonyolan itu. Tak boleh ada lagi badut politik yang mentas di depan foto besar Bung Karno, lalu seenak jidatnya menipu rakyat bahwa Sang Proklamator telah memberinya restu.
Pemilu dengan biaya selangit sudah seharusnya diubah. Manfaatkanlah teknologi digital. Asal diiringi niat nan tulus, siapapun calon presiden terbaik yang kita miliki sesuai standar mutunya bisa dipilih dengan mudah melalui gawai yang kini digenggam ratusan juta rakyat.
Sampai di sini, Anda mafhum apa yang kami maksud? Ya, sudah sejak era Orde Baru, negara kita dijadikan bancakan para elite. Kebiasaan terpuji itu rupanya masih dilanjutkan oleh rezim reformasi yang cuma bersalin rupa saja. Setali tiga uang. Hampir tak ada satu pun partai yang bisa dipercaya. Lucunya lagi, para pemilihnya juga mau saja dikadali. Dengan senang hati dibohongi mentah-mentah.