JAKARTA, KOMPAS.com - Suasana di ruang tamu kediaman Presiden Soeharto, Jalan Cendana, menteng, Jakarta Pusat, pada 20 Mei 1998 malam begitu berbeda. Hening dan redup. Begitulah hawa yang dipancarkan satu hari jelang lengsernya Soeharto.
Situasi tersebut digambarkan oleh Probosutedjo, adik Soeharto, dalam buku Memoar Romantika Probosutedjo: Saya dan Mas Harto.
Tak banyak yang tahu apa yang sesungguhnya terjadi di Cendana pada 20 Mei 1998 malam.
Beberapa hari sebelum waktu tersebut, kawasan Cendana dan sekitarnya sudah dijaga oleh barikade pasukan. Tak sembarang orang bisa masuk ke Cendana.
"Saya terus memantau kondisi dan mondar-mandir ke Cendana," ungkap Probosutedjo.
Baca juga: Kilas Balik Mundurnya Presiden Soeharto, 21 Mei 1998
Beberapa hari jelang menyatakan mundur, Soeharto kerap bertemu dengan akademisi dan tokoh politik di Cendana, antara lain cendikiawan Islam Nurcholis Madjid, Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Saadillah Mursyid, hingga pimpinan DPR/MPR saat itu, Harmoko.
Probosutedjo juga sempat menemui kakaknya dan berdialog mengenai situasi jelang reformasi.
"Mas, ini nampaknya kondisi sudah mengarah pada reformasi," kata dia.
Digambarkan Probosutedjo, Soeharto tetap tenang dan manggut-manggut.
"Boleh saja berpikir untuk reformasi. Tapi, jangan terpeleset menjadi revolusi," sahut Soeharto.
Probosutedjo lantas bertanya kepada sang kakak apakah bersedia mundur dari jabatan yang telah ia genggam selama 32 tahun.
Saat itu, Soeharto mengatakan bahwa ia akan mundur jika MPR menghendaki.
Baca juga: Saat Soeharto Tawarkan Diri Pimpin Indonesia Menuju Reformasi
Digambarkan Probosutedjo, perangai Soeharto kala itu tetap tenang sekalipun eskalasi terus meninggi.
Probosutedjo tak heran lantaran kakaknya itu cukup berpengalaman menghadapi gejolak politik.
20 Mei 1998 malam