JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus mengingatkan DPR untuk tidak menciptakan disinformasi yang dapat menyebabkan kegaduhan.
Sejumlah anggota DPR mendatangi RSPAD Gatot Subroto untuk menjadi relawan pengembangan vaksin Nusantara. Namun hal itu menjadi simpang siur, antara penyuntikan vaksin atau pengambilan sampel darah.
"Saya kira DPR punya tanggung jawab moral untuk mencegah kegaduhan karena disinformasi yang mereka lakukan. Informasi terkait penerimaan vaksin Nusantara ataupun ada yang diminta sampel darahnya harus dijelaskan secara terang benderang ke publik," kata Lucius saat dihubungi, Rabu (14/4/2021).
Baca juga: DPR Diminta Terbuka soal Vaksin Nusantara, Ini Vaksinasi Atau Hanya Diambil Darah Saja?
Menurut Lucius, niat baik DPR untuk mendukung vaksin produksi dalam negeri itu patut diapresiasi. Namun, niat baik tidak boleh dilakukan serampangan sehingga berdampak buruk.
"Jangan sampai tindakan mereka dengan informasi yang simpang siur justru membuat publik kebingungan," ujar Lucius.
Ia mengatakan, kebingungan di tengah publik itu juga dapat menurunkan kepercayaan publik kepada DPR, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), maupun vaksin itu sendiri.
Lucius juga mengingatkan, layak atau tidaknya vaksin bukan urusan DPR, melainkan kewenangan BPOM.
Baca juga: Pimpinan Komisi IX Sebut Tak Ada Kesepakatan Kolektif Ikuti Uji Klinis Vaksin Nusantara
Oleh karena itu, apabila ada perbedaan pandangan dengan BPOM, maka harus diselesaikan melalui dialog atau rapat kerja di DPR.
"Jangan sampai DPR memperlihatkan sikap yang tidak taat asas terkait dengan prosedur uji klinis vaksin. Ini bisa sangat berbahaya jika ada persoalan terkait dampak kesehatan yang akan timbul di kemudian hari," kata Lucius.
Sebelumnya, sebagian anggota DPR mengaku hanya diambil sampel darahnya saja untuk uji klinis fase II, tetapi ada pula yang mengaku disuntikkan vaksin Nusantara.
Belakangan, Kepala RSPAD Gatot Subroto Budi Sulistya menegaskan, anggota DPR datang untuk diambil sampel darahnya.
"Apabila ada pejabat publik, politisi dan masyarakat yang akan diambil darahnya besok atau lusa berarti hal tersebut baru pengambilan sampel dan bukan pemberian vaksin nusantara," kata Budi dalam keterangan tertulis, Rabu.
"Proses dari pengambilan sampel sampai dengan pemberian sel dendritik rerata 7-8 hari. Sampel yang diambil dan tidak memenuhi kriteria inklusi kami tekankan kepada peneliti untuk tidak dimasukkan dalam sampel penelitian," sambung dia.
Baca juga: Uji Klinis Vaksin Nusantara Dilanjutkan Tanpa Persetujuan BPOM
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.