JAKARTA, KOMPAS.com - Tim Analis Laboratorium Indonesia 2045 (LAB 45) menyebut, selama periode 2000 hingga 2021, telah terjadi 552 aksi teror di Indonesia.
Sasaran utamanya yakni individu atau aset pribadi, polisi, hingga tokoh atau tempat keagamaan.
"Ada tiga sasaran utama aksi teror, yaitu individu/aset pribadi (24 persen), aparat kepolisian (17 persen), dan tokoh/tempat keagamaan (15 persen)," kata Analis Utama Politik Keamanan LAB 45, Andi Widjajanto, kepada Kompas.com, Selasa (30/2/2021).
Baca juga: 552 Aksi Teror Terjadi Sejak Tahun 2000, Terbanyak Ada di Era SBY
Aksi teror juga menyasar fasilitas komersial atau pariwisata (13 persen), pemerintahan (8 persen), militer (7 persen), transportasi (3 persen), jurnalis/media (2 persen), misi diplomatik (2 persen) dan paramiliter (1 persen).
Kemudian, mayoritas serangan teror cenderung berupa aksi pengeboman (51 persen). Disusul serangan bersenjata (30 persen), serangan pada fasilitas umum (8 persen), pembunuhan (5 persen), penculikan (4 persen) dan serangan tak bersenjata (1 persen).
"Aksi pengeboman cenderung menurun dari tahun 2000 sampai 2015, namun terjadi peningkatan serangan sejak tahun 2016," ujar Andi.
Baca juga: Bom Bunuh Diri di Gerbang Katedral Makassar dan Ancaman Teror Serentak
Selanjutnya, sebesar 50 persen aksi teror dilakukan oleh kelompok Jamaah Islamiyah (JI) yang berafiliasi dengan Al Qaeda.
Kemudian, 26 persen aksi teror dilakukan Mujahidin Indonesia Timur (MIT) yang berafiliasi dengan ISIS, 15 persen oleh Jamaah Ansharut Daulah (JAD), 8 persen oleh Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) dan 1 persen oleh Mujahidin Indonesia Barat (MIB).
Dari ratusan aksi teror itu, sebanyak 52 persen cenderung berdaya rusak rendah dengan bahan-bahan yang mudah diperoleh dan dirakit.
Sementara 30 persen berdaya rusak sangat rendah, 12 persen daya rusak sedang dan 3 persen berdaya rusak tinggi atau kritikal.
Baca juga: Kalla: Teror di Makassar Bukan Cuma Masalah Umat Katolik, tetapi Umat Manusia
Umumnya, kata Andi, serangan teror terjadi pada dua periode utama, yaitu Agustus sampai September dan November hingga Desember.
"Pola ini cenderung terkait dengan momentum jejaring teror global black September dan perayaan Natal, Tahun Baru," ucap Andi.
Andi mengatakan, terjadi peralihan serangan teror dari karakter JI yang mengandalkan aksi pengeboman terhadap tokoh atau tempat religius, menjadi metode yang lebih variatif, seperti serangan bersenjata pembunuhan dan penculikan oleh kelompok JAD dan MIT.
"Terjadi peralihan pola serangan dari sel JI yang cenderung beraksi di perkotaan seperti Jakarta dan Medan pada akhir tahun, ke pola teror jejaring JAD dan MIT yang kerap melakukan serangan sporadis di banyak tempat sepanjang tahun," kata dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.