JAKARTA, KOMPAS.com – Ketua Tim Kajian Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) Sugeng Purnomo mengatakan, ada 5 kesimpulan yang dihasilkan dari diskusi yang dilakukan bersama 29 narasumber mewakili aktivis, praktisi, dan korban UU ITE.
Pertama, UU ITE tetap diperlukan untuk menjaga ruang digital tetap beretika, produktif, dan berkeadilan.
Sugeng melanjutkan, kesimpulan kedua adalah tentang edukasi pada masyarakat terutama generasi muda tentang tata krama di ruang siber.
“Meningkatkan sosialisasi dan edukasi terkait tatakrama penggunaan ruang digital pada generasi muda, dan disarankan masuk dalam kurikulum pendidikan. Ini saya kira masukan yang luar biasa dari narasumber-narasumber yang telah kami hadirkan,” kata Sugeng dalam acara Peluncuran Riset ICJR bertajuk ‘Mengatur Ulang Kebijakan Pidana di Ruang Siber’, Rabu (10/3/2021).
Baca juga: Koalisi Masyarakat Sipil: Ketidakadilan UU ITE Sangat Mudah Ditemukan
Kesimpulan berikutnya, kata Sugeng, mendesak agar aparat penegak hukum menjalankan tugas dan fungsinya secara profesional dan adil.
Sugeng melanjutkan, kesimpulan keempat adalah pengenaan delik UU Pers pada kerja-kerja jurnalistik di media siber, bukan UU ITE.
“Jadi kalau misalnya dia menjalankan tugas jurnalistik lalu hasilnya dimuat pada perusahaan atau badan usaha yang menaungi dia, jika terjadi pelanggaran, tidak dikenakan delik-delik di UU ITE tapi delik-delik di UU Pers,” jelas Sugeng.
Lalu kesimpulan kelima adalah tentang pasal-pasal UU ITE yang sering menjadi sorotan dan dianggap multitafsir.
“Pasal yang banyak disorot adalah Pasal 27 Ayat (1), Ayat (3), Ayat (4), Pasal 28 Ayat (2) maupun Pasal 29 dan Pasal 36 juncto Pasal 51 Ayat (2),” imbuhnya.
Baca juga: Komnas Perempuan Minta Revisi UU ITE Lindungi Perempuan Korban Kejahatan Siber
Lebih lanjut Sugeng mengatakan bahwa Tim Kajian UU ITE tetap mendengarkan banyak masukan dari semua pihak.
Adapun hari ini, Tim Kajian UU ITE juga mengadakan diskusi dengan empat organisasi pers yaitu, LBH Pers, Asosiasi Media Siber Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia.
Sebagai informasi wacana revisi UU ITE digaungkan pertama kali oleh Presiden Joko Widodo pada 15 Februari 2021 saat memberikan arahan pada Rapat Pimpinan (Rapim) TNI-Polri di Istana Negara, Jakarta.
Jokowi meminta revisi UU ITE dilakukan untuk bisa menjamin keadilan pada masyarakat.
Baca juga: Revisi UU ITE Dinilai Jadi Tantangan Pemerintah
Dalam perjalanannya, permintaan Jokowi tersebut direspon oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo yang mengeluarkan Surat Telegram yang berisi pedoman penanganan perkara tindak pidana kejahatan siber yang menggunakan UU ITE.
Kemudian Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate menyebut bahwa pemerintah sedang bekerja sama untuk menyusun pedoman interpretasi resmi terkait UU ITE.
Namun demikian, dalam rapat Badan Legislasi (Baleg) DPR, Selasa (9/3/2021) pemerintah dan DPR sepakat tidak memasukkan UU ITE dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly beralasan saat ini revisi UU ITE masih dalam pembahasan pemerintah.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.