JAKARTA, KOMPAS.com - Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) menolak seluruh Peraturan Pemerintah (PP) klaster ketenagakerjaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
Presiden KSPI Said Iqbal menyoroti PP Nomor 35 tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.
Ia menilai PP tersebut menunjang praktik outsourcing yang selama ini ditentang oleh serikat pekerja.
"PP 35 dan UU Cipta Kerja, kegiatan pokok dan penunjang diperbolehkan menggunakan outsourcing. Ini perbudakan zaman modern," kata Said dalam konferensi pers, Kamis (25/2/2021).
Baca juga: PP Turunan UU Cipta Kerja: Kini Pekerja PKWT Bisa Dikontrak hingga 5 Tahun
Dalam PP 35/2021, PKWT berdasarkan jangka waktu dapat berlangsung selama 5 tahun. Perusahaan diperbolehkan memperpanjang PKWT yang telah selesai maksimal selama 5 tahun.
Masa perpanjangan PKWT dilakukan seusai kesepatan antara pengusaha dan pekerja dengan ketentuan jangka waktu tidak lebih dari 5 tahun.
Sementara, ketentuan mengenai PKWT sebelumnya diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
UU Ketenagakerjaan mengatur, jangka waktu PKWT maksimal selama tiga tahun, dengan rincian dua tahun kontrak dan perpanjangan maksimal setahun.
"Sudah upahnya murah, kontraknya berulang-ulang dan disuruh lewat outsourcing. Itu kerja rodi, ini yang disebut perbudakan modern," ucap Said.
Baca juga: UU Cipta Kerja Tak Memihak Pekerja
Said menilai, ketentuan tersebut berpotensi menimbulkan durasi kerja yang panjang dan membuat buruh semakin sulit secara ekonomi.
Selain itu ia juga menyoroti soal ketentuan pesangon, jam kerja, hingga aturan Upah Minimum Sektoral Kabupaten Kota (UMSK) dan Upah Minimum Sektoral Provinsi (UMSP) yang dihapus.
PP Nomor 36 tahun 2021 mengatur tentang Pengupahan. Salah satu poin yang disoroti KSPI adalah syarat tertentu untuk menetapkan UMK.
Menurutnya, aturan itu hanya akan membuat para buruh semakin jauh dari kesejahteraan.
"UMK di PP 36 ditegaskan mengikuti aturan UMP. Dengan hilangnya UMSK maka akan terjadi pemberian upah minimum yang tidak berkeadilan," kata Said.
"Kalau UMP yang berlaku itu memiskinkan buruh dan orang-orang yang bekerja secara struktural dan kembali kepada kebijakan upah murah," tuturnya.
Baca juga: KSPI Sayangkan Sikap Pemerintah Terbitkan PP Saat UU Cipta Kerja Masih Diuji di MK