JAKARTA, KOMPAS.com - Arah politik hukum pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dalam pemberantasan korupsi dinilai tidak jelas.
Pasalnya, hingga saat ini Rancangan Undang-Undang tentang Perampasan Aset Tindak Pidana (RUU Perampasan Aset) belum menjadi prioritas pembahasan.
Sementara, sejumlah organisasi masyarakat sipil dan pegiat antikorupsi telah menyerukan adanya pembahasan legislasi yang pro terhadap pemberantasan korupsi.
Selain RUU Perampasan Aset, ada pula RUU Pembatasan Transaksi Uang Kartal dan revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Ya memang politik hukum pemberantasan korupsi, baik oleh pemerintah maupun DPR memang tidak jelas," ujar Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana kepada Kompas.com, Rabu (17/2/2021).
Baca juga: ICW Nilai RUU Perampasan Aset Perlu Masuk Prolegnas
Kurnia mengatakan, proses legislasi yang dilakukan pemerintah dan DPR justru bertolak belakang dengan pemberantasan korupsi.
Hal itu ditunjukkan dengan adanya revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK) pada 2019 lalu.
DPR mengesahkan revisi UU KPK pada Selasa (17/9/2020), meski mendapat penolakan besar dari publik.
Sejumlah perubahan yang diatur dalam revisi UU KPK antara lain keberadaan Dewan Pengawas KPK, alih status pegawai KPK menjadi ASN, serta KPK yang ditempatkan dalam rumpun eksekutif.
“Dari kejadian itu, kita ragu berbagai tunggakan legislasi yang memperkuat pemberantasan korupsi akan segera dibahas atau diundangkan oleh pemerintah ataupun DPR,” kata Kurnia.
Baca juga: Pemerintah dan DPR Diminta Segera Sahkan RUU Perampasan Aset
Kurnia berpandangan, pemerintah dan DPR hilang arah dalam menentukan regulasi-regulasi yang pro pemberantasan korupsi.
Menurutnya, pemerintah seperti tidak mengetahui regulasi yang harus dihindari karena kental kaitan politik dan malah berpotensi melemahkan institusi pemberantasan korupsi seperti KPK.
“Sayangnya pemerintah lebih memilih untuk melemahkan pemberantasan korupsi daripada memperkuatnya,” ucap Kurnia.
Kurnia menyebut, RUU Perampasan Aset penting untuk masuk daftar Program Legislasi Nasional (prolegnas) Prioritas.
Berdasarkan data ICW, terdapat kesenjangan antara kerugian negara akibat korupsi dengan vonis pidana tambahan berupa uang pengganti.
Pada semester I 2020, kerugian negara mencapai Rp 39 triliun akibat korupsi. Sedangkan total vonis uang pengganti hanya Rp 2,9 triliun.
“Gap tersebut itu kan jadi problem hari ini, itu kalau kita terus menerus masih menggunakan pendekatan hukum pidana," ujarnya.
Baca juga: PPATK Berharap RUU Perampasan Aset Bisa Segera Disahkan
Kurnia mengatakan, hingga kini belum ada regulasi yang mengatur perampasan aset koruptor, baik dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) ataupun Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Dalam UU Tipikor, perampasan aset bisa dilakukan seandainya terdakwa divonis bebas, tetapi ada kerugian keuangan negara. Ketentuan lainnya, perampasan aset bisa dilakukan ketika tersangka meninggal dunia.
Sedangkan, RUU Perampasan Aset mengatur ketentuan bahwa tersangka harus membuktikan aset yang dihadirkan di persidangan itu bukan hasil dari tindak pidana korupsi.
“Kalau tidak bisa dibuktikan ya dirampas, sesederhana itu sebenarnya,” ucap Kurnia.
Disusun sejak 2018
Sebelumnya, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) meminta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) mendorong RUU Perampasan Aset masuk daftar Prolegnas Prioritas.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae menyampaikan hal tersebut saat bertemu Menkumham Yasonna Laoly beserta jajaran di kantor Kemenkumham, Senin (15/2/2021).
"Sehubungan dengan tidak adanya lagi pending issue, PPATK meminta kesediaan Kemenkumham mendorong ditetapkannya RUU Perampasan Aset sebagai RUU Prioritas Tahun 2021 atau setidaknya RUU Prioritas 2022," ujar Dian, dalam keterangannya, Senin.
Baca juga: PPATK Minta Pemerintah Dorong RUU Perampasan Aset Masuk Prolegnas Prioritas
Ia menuturkan, RUU yang diinisasi oleh PPATK itu disusun pada 2008. RUU itu kemudian selesai dibahas antarkementerian pada November 2010.
Kementerian/lembaga yang terlibat dalam penyusunannya adalah Kemenkumham, PPATK, Kemenpan RB, Kementerian Keuangan, Kementerian Sekretariat Negara, akademisi FH UI, Polri, KPK dan Kejaksaan Agung.
"RUU Perampasan Aset Tindak Pidana telah disampaikan kepada Presiden melalui surat Menteri Hukum dan HAM Nomor M.HH.PP.02.03-46 tanggal 12 Desember 2011," ujar Dian.
RUU itu dirumuskan dengan mengadopsi ketentuan dalam The United Nations Convention against Corruption (UNCAC) dan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture.
Dian memaparkan tiga substansi utama yakni, unexplained wealth sebagai salah satu aset yang dapat dirampas untuk negara, hukum acara perampasan aset, dan pengelolaan aset.
Menurutnya, unexplained wealth merupakan aset yang tidak seimbang dengan penghasilan atau sumber penambahan kekayaan yang tidak dapat dibuktikan asal usulnya secara sah dan diduga terkait dengan tindak pidana.
Baca juga: Capim KPK Ini Dorong RUU Perampasan Aset
Kemudian, hukum acara perampasan aset dalam RUU disebut menekankan pada konsep negara versus aset (in rem), yang juga mengatur tentang perlindungan terhadap pihak ketiga yang beritikad baik.
Terakhir, menyoal pengelolaan aset, RUU merinci sembilan jenis kegiatannya yakni, penyimpanan, pengamanan, pemeliharaan, penilaian, pemindahtanganan, penggunaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengembalian.
Apabila RUU itu disahkan, PPATK menilai, dapat membantu pengembalian kerugian negara dari hasil tindak pidana.
"Dan akan memberi efek jera kepada pelaku dan deterrent effect bagi calon pelaku kejahatan ekonomi," tuturnya.
Pemulihan keuangan negara
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyambut baik usulan PPATK tersebut.
Pelaksana Tugas Juru Bicara KPK Ali Fikri mengatakan, jika sudah disahkan menjadi undang-undang, aturan hukum tersebut akan memberikan efek positif terhadap upaya pemulihan kerugian negara (asset recovery).
"Dengan menjadi UU maka akan memberikan efek dan manfaat positif bagi dilakukannya asset recovery dari hasil tipikor (tindak pidana korupsi) maupun TPPU (Tindak Pidana Pencucian Uang)," kata Plt Juru Bicara KPK Ali Fikri, dalam keterangan tertulis, Selasa (16/2/2021).
Baca juga: Soal RUU Perampasan Aset, KPK: Berdampak Positif terhadap Pemulihan Kerugian Negara
Menurut Ali, KPK memandang penegakan hukum tindak pidana korupsi tidak hanya terbatas pada penerapan sanksi pidana penjara saja.
Namun, penegakan hukum juga harus memberikan efek jera bagi para koruptor maupun pelaku TPPU, yakni melalui perampasan aset hasil korupsi.
“Perampasan aset dari para pelaku berbagai tindak pidana korupsi dan TPPU dapat memberikan pemasukan bagi kas negara yang bisa digunakan untuk pembangunan dan kemakmuran rakyat,” kata Ali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.