JAKARTA, KOMPAS.com - Pengamat politik yang juga Direktur Lingkar Madani Indonesia Ray Rangkuti menilai, hampir semua revisi undang-undang yang dilakukan DPR bermuatan kepentingan politik, termasuk dalam hal ini Revisi Undang-Undang (RUU) Pemilu.
"Apalagi kaitannya dengan UU yang mengatur hak hidup mereka. Mengatur kepentingan mereka sendiri dalam hal ini adalah UU Pemilu atau UU Pilkada. Pasti muatannya penuh dengan kepentingan politik," kata Ray dalam diskusi daring Vox Point Indonesia bertajuk "Akrobatik Parpol di Balik Revisi UU Pemilu" Sabtu (13/2/2021).
Ray melihat sikap fraksi partai politik yang menolak atau menunda pembahasan revisi UU Pemilu saat ini bermuatan kepentingan politik.
Baca juga: Perludem Sayangkan Jika DPR Tak Jadi Revisi UU Pemilu
Namun, di saat yang bersamaan, dirinya mengatakan bahwa fraksi yang mendukung pembahasan RUU Pemilu juga dalam rangka memperhitungkan kepentingan poliik.
"Jadi saya rasa keduanya memang dalam rangka memperhitungkan kepentingan politik mereka masing-masing," ujarnya.
Oleh karena itu, ia mengajak agar semua pihak dapat memahami RUU Pemilu di luar kepentingan partai politik.
Hal ini untuk menimbang apakah RUU Pemilu dan Pilkada tersebut sesuatu yang urgen atau tidak.
Ray menawarkan beberapa alasan untuk melihat situasi RUU Pemilu. Pertama, publik perlu memahami makna keserentakan pelaksanaan yang dipermasalahkan dalam RUU Pemilu.
Menurut dia, keputusan serentaknya Pemilu sudah diatur dalam Mahkamah Konstitusi (MK). Artinya, sudah ada dasar hukum yang menyatakan bahwa Pemilu dilaksanakan secara serentak.
"Pemilu dan amanah dari keputusan MK itu sudah kita lakukan dua kali yaitu pada saat Pilkada serentak 2017 dan kemarin Pilkada serentak 2020. Jadi artinya secara de facto, keputusan MK itu sudah kita laksanakan," jelasnya.
Namun, menurutnya yang akan menjadi masalah berikutnya yaitu memahami format penyelenggaraan Pemilu serentak.
Ia mempertanyakan, apakah format penyelenggaraan Pemilu akan dilaksanakan seperti Pemilu serentak sebelumnya.
"Atau ada pemikiran lain, yaitu misalnya memilih atau memilah apa yang disebut dengan Pemilu Nasional dan Pemilu lokal. Jadi pemilu nasional kita hanya memilih presiden, wakil presiden, anggota DPD, dan DPR jadi satu. Sementara pemilu lokal itu adalah memilih kepala daerah plus dengan anggota DPRD secara bersamaan," tuturnya.
Ray menambahkan, soal keserentakan pemilu di 2024 juga perlu dipertimbangkan mengenai efektivitas masa bakti para penyelenggara pemilu.
Pasalnya, meski dilakukan dalam waktu atau bulan yang berbeda, penyelenggara pemilu di 2024 hanya bekerja dalam waktu satu tahun.
Padahal, dalam aturan masa bakti penyelenggara pemilu berlaku selama lima tahun.
"Maka pertanyaannya, masihkah kita harus menciptakan institusi penyelenggara pemilu yg bermasa bakti sampai lima tahun? Untuk apa? lha wong kerjanya cuma setahun, setahun itu selesai lah, paling hebat itu," ujar
Baca juga: Revisi UU Pemilu Dinilai Kerap Jadi Arena Pertarungan Parpol
"Nah itu juga perlu kita pikirkan. Jadi tiga atau empat tahun, asumsinya, KPU dari tingkat khususnya kabupaten kota sampai provinsi itu gak ada kerjaannya," jelas dia.
Bukan tanpa alasan, ia menilai hal ini berkaitan juga dengan besarnya honorarium yang tetap diterima para penyelenggara pemilu, meski kinerjanya tidak optimal lantaran hanya bekerja satu tahun.
"Sekian triliun rupiah untuk honorarium mereka saja, sementara pekerjaannya tidak terlalu signifikan lagi, bahkan boleh disebut tidak punya pekerjaan dalam 3 atau 4 tahun sisanya itu," ujarnya.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.