JAKARTA, KOMPAS.com - Indonesia Corruption Watch (ICW) mendesak jaksa penuntut umum (JPU) menolak permohonan status justice collaborator (JC) yang diajukan Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.
Adapun Djoko Tjandra ingin menjadi JC dalam kasus dugaan suap terkait kepengurusan fatwa di Mahkamah Agung (MA) serta kasus dugaan suap terkait penghapusan red notice di Interpol atas namanya.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhan menyoroti salah satu syarat untuk memperoleh status JC yakni bukan sebagai pelaku utama.
"Ihwal syarat 'bukan pelaku utama' mesti disorot. Pertanyaan sederhananya, jika ia mengajukan diri sebagai JC, tentu ia menganggap dirinya bukan pelaku utama, lalu siapa pelaku utamanya?" tutur Kurnia dalam keterangannya, Jumat (5/2/2021).
Selain bukan sebagai pelaku utama, Kurnia menuturkan, syarat lainnya yakni mengakui kejahatannya, memberikan keterangan yang signifikan, mengembalikan aset, memberikan keterangan di persidangan, dan bersikap kooperatif.
Baca juga: Djoko Tjandra Ajukan Diri Jadi Justice Collaborator
Hal itu tertuang dalam United Nation Convention Against Corruption, United Nation Convention Against Transnational Organized Crime, UU Perlindungan Saksi dan Korban, SEMA Nomor 4 Tahun 2011, dan Peraturan Bersama KPK-Kepolisian-Kejaksaan-LPSK-Kemenkumham.
ICW justru menilai, Djoko Tjandra tidak terbuka saat memberikan keterangan, misalnya dalam perkara kasus fatwa di MA yang juga ikut menyeret Jaksa Pinangki Sirna Malasari.
Djoko Tjandra dinilai belum menjelaskan alasannya memercayai Pinangki atau apakah ada oknum lain yang membuatnya percaya untuk bekerja sama dengan Pinangki.
"Sebab, logika awam, seorang buronan kelas kakap seperti Joko S Tjandra, tidak mungkin begitu saja percaya kepada Pinangki, terlebih jaksa tersebut tidak memiliki jabatan penting di Korps Adhyaksa," ujarnya.
Menurut Kurnia, seluruh syarat untuk mendapatkan JC perlu dipandang sebagai ketentuan kumulatif.
"Jadi, satu saja tidak dipenuhi selayaknya permohonan tersebut ditolak," ungkap Kurnia.
Baca juga: Nama Djoko Tjandra Hilang dari DPO, Saksi Nilai Sekretaris NCB Interpol Indonesia Bertanggung Jawab
Sebelumnya, kuasa hukum Djoko Tjandra, Krisna Murti mengklaim, kliennya telah mengungkap aliran dana terkait kasus tersebut dan bersikap kooperatif terhadap penyidik.
"Artinya, dari awal yang membuka tentang masalah uang tersebut kan Pak Djoko, di dalam BAP pun juga dituangkan, nah itu nanti dalam JC-nya nanti," kata Krisna di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (4/2/2021), dikutip dari Tribunnews.com.
Adapun dalam kasus red notice, Djoko Tjandra didakwa menyuap mantan Kepala Divisi Hubungan Internasional Polri Irjen Napoleon Bonaparte dan mantan Karo Korwas PPNS Bareskrim Polri Brigjen (Pol) Prasetijo Utomo, melalui perantara Tommy Sumardi.
Menurut JPU, atas berbagai surat yang diterbitkan atas perintah Napoleon, pihak Imigrasi menghapus nama Djoko Tjandra dari daftar pencarian orang (DPO).
Djoko Tjandra yang merupakan narapidana kasus korupsi pengalihan hak tagih (cessie) Bank Bali itu pun bisa masuk ke Indonesia dan mengajukan PK ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Juni 2020 meski diburu kejaksaan.
Baca juga: Sambil Menangis, Jaksa Pinangki Mengaku Menyesal Terlibat Kasus Djoko Tjandra
Di sisi lain, Djoko Tjandra didakwa menyuap Jaksa Pinangki Sirna Malasari lewat perantara Andi Irfan Jaya terkait kepengurusan fatwa di MA.
Fatwa itu menjadi upaya agar Djoko Tjandra dapat kembali ke Indonesia tanpa menjalani vonis dua tahun penjara di kasus Bank Bali.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.