JAKARTA, KOMPAS.com - Akademisi Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Herlambang Wiratman menyebut sederet kekhawatiran penanda turunnya kualitas demokrasi Indonesia sepanjang 2020 begitu banyak.
Salah satu cerminan turunnya kualitas demokrasi adalah dengan disahkannya Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
"Apa yang terjadi di 2020 sebenarnya mengonfirmasi apa yang telah diperkirakan sebelumnya, termasuk dalam bidang HAM," ujar Herlambang dalam peluncuran buku "Nestapa Demokrasi di Masa Pandemi: Refleksi 2020, Outlook 2021" yang digelar LP3S, Senin (11/1/2021).
Baca juga: Perludem: Pemilih Kita Loyal dan Kooperatif, Ini Modal Demokrasi yang Luar Biasa
Dalam pengesahan UU Cipta Kerja, Herlambang memandang bahwa hal itu sudah ditandai dengan skala prioritas Presiden Joko Widodo yang ingin menyasar sektor ekonomi pada tahun pertamanya bersama Wakil Presiden Maruf Amin.
Akan tetapi, sebut Herlambang, dalam bayangan Jokowi bahwa peningkatan ekonomi dilakukan dengan mendorong investasi.
Hal ini pun secara tidak langsung mengulang peristiwa sekitar 2003-2004, di mana pemerintah melegislasi fleksibilitas pasar tenaga kerja melalui UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan maupun UU Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
Disahkannya UU Cipta Kerja pun menandakan terdapat upaya pemerintah menekan hak-hak buruh.
Karena itu, tidak mengherankan jika sasaran utama UU Cipta Kerja adalah buruh yang nantinya akan merasakan dampak paling besar di samping juga mempunyai konsekuensi terhadap eksploitasi Sumber Daya Alam (SDA) dan lingkungan.
"Itu potret hak asasi manusia yang dijadikan landasan di dalam kebijakan, terutama ketika disahkan peraturan perundang-undangan," terang Herlambang.
Rendahnya demokratisasi dalam pembuatan UU Cipta Kerja juga menjadi penanda bahwa situasi saat ini tengah memasuki era otoritarian.
Di mana pembuatan suatu aturan tidak dibarengi dengan transparansi serta mempunyai niatan kuat untuk meliberalkan pasar bebas.
Baca juga: Resesi Demokrasi dan Wajah Otoritarianisme Digital di Indonesia
Ia menyebut karut-marutnya proses legislasi tak ubahnya sebagai praktik legalisme otokratiki.
Melalui praktik ini, penguasa memperlihatkan kecongkakannya dalam proses pembentukan hukum yang diadaptasi atas kepentingan kuasa politik.
"Mengesahkannya menjadi legislasi kemudian menerjemahkannya ke dalam peraturan perundang-undangan yang nanti secara optik akan melahirkan ketimpangan, akan melahirkan ketidakadilan," tegas dia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.