JAKARTA, KOMPAS.com - Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menilai penerbitan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Tindakan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi, dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak masih menyisakan sederet permasalahan.
Direktur Eksekutif ICJR, Erasmus Napitupulu menyebut permasalahan itu terletak pada tidak adanya keterangan yang jelas dan detail, misalnya mengenai mekanisme pengawasan, pelaksanaan dan pendanaan.
"Bagaimana kalau ternyata setelah kebiri, terpidana dinyatakan tidak bersalah atau terdapat peninjauan kembali? Penyusun seakan-akan menghindari mekanisme yang lebih teknis karena kebingungan dalam pengaturannya," ujar Erasmus dalam keterangan tertulis, Senin (4/1/2021).
Baca juga: KPAI: PP Kebiri Kimia Predator Seksual Anak Beri Kepastian Hukum
Erasmus mengatakan praktik kebiri pada dasarnya membutuhkan persiapan dan pembangunan sistem perawatan yang tepat, termasuk kebutuhan anggaran yang besar.
Skema ini diperlukan sebagaimana praktik kebiri di negara-negara lain.
Namun demikian, kata Erasmus, pemerintah sejauh ini tidak pernah memberikan penjelasan mengenai gambaran penyediaan anggaran.
Mengingat, penerapan kebiri ini diyakini akan menguras dana besar.
"Dari proyeksi yang bisa dilakukan, anggaran yang dikeluarkan tidak akan sedikit, karena selain pelaksanaan kebiri kimia, akan ada anggaran untuk rehabilitasi psikiatrik, rehabilitasi sosial, dan rehabilitasi medik bagi terpidana kebiri kimia," terang Erasmus.
Nihilnya skema pendanaan juga diperparah dengan minimnya anggaran yang disediakan negara selama ini untuk perlindungan dan pemulihan korban tindak pidana.
Berdasarkan data anggaran Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) periode 2015-2019, jumlah layanan yang dibutuhkan korban dan diberikan oleh LPSK terus meningkat,.
Pada 2015 hanya 148 layanan, 2019 menjadi 9.308 layanan, namun anggaran yang diberikan kepada LPSK sejak 2015 sampai dengan 2020 terus mengalami penurunan, bahkan cukup signifikan.
Anggaran LPSK pada 2015 mencapai Rp148 miliar, sedangkan pada 2020 anggaran layanan LPSK hanya disediakan Rp 54,5 miliar.
"Padahal kebutuhan korban meningkat. Sebagai catatan, pada 2019, anggaran yang terkait dengan layanan terhadap korban hanya sebesar Rp 25 miliar," jelas Erasmus.
Selain anggaran, lanjut Erasmus, Indonesia hingga kini belum memiliki pengaturan yang komprehensif dalam satu aturan terkait perlindungan dan pemulihan korban kekerasan seksual.
Berdasarkan tinjauan ICJR, aturan pemulihan korban kekerasan seksual tersebar dan berbeda-beda minimal di lima Undang-undang (UU).