SENIN, 24 Juli 2006, Staf Khusus Presiden (waktu itu), Andi A Mallarangeng menulis artikel berjudul Bersahabat dengan Bencana.
“Judul di atas mungkin terasa aneh. Bagaimana bisa bersahabat dengan sesuatu yang ingin kita hindari dan tak ingin dia datang. Tapi begitulah kenyataan yang harus kita terima,” begitu kalimat awal yang ditulis Andi Mallarangeng dalam artikelnya.
Artikel ini merupakan bagian dari buku Andi Mallarangeng berjudul Dari Kilometer 0,0. Kilometer 0,0 artinya adalah kantor pusat pemerintahan RI, yakni Istana Negara dan Istana Merdeka di Jakarta.
14 tahun kemudian, Kamis, 7 Mei 2020, istana kepresidenan mengeluarkan video seruan Presiden Joko Widodo kepada masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan atau berdamai dengan virus Corona atau Covid-19.
“Artinya sampai diketemukannya vaksin yang efektif, kita harus hidup berdamai dengan Covid-19 untuk beberapa waktu ke depan,” kata Jokowi di Istana Merdeka, Jakarta, dalam video yang diunggah biro pers, media, dan informasi Sekretariat Presiden.
Berdamai dengan virus Corona, dalam seruan Jokowi itu tidak berarti masyarakat Indonesia “berpelukan” dengan Covid-19 itu. Tapi, menurut Jokowi, karena para ahli memprediksi kehadiran virus Corona di bumi manusia ini masih akan terus berlanjut entah sampai kapan, maka bangsa Indonesia harus waspada, yakni disiplin keras, mengenakan masker, rajin cuci tangan dengan sabun dengan cara yang benar, menjaga jarak dalam berkomunikasi dengan orang lain atau menghindari kerumunan.
Dalam seruannya dari Istana Merdeka, pada bulan Mei lalu itu, Jokowi juga mencatat mengenai masalah aturan PSBB (pembatasan sosial berskala besar) atau menjaga jarak aman.
“Jalan raya nampak sepi tapi di kampung-kampung nampak banyak orang berkerumun,” ujarnya.
Mari kembali ke Andi Malarangeng tentang sarannya bagi masyarakat Indonesia yang hidup di kawasan the rim of fire atau cincin api Pasifik, lingkaran api Pasifik, atau sabuk gempa Pasifik. Di wilayah ini sering terjadi letusan gunung, gempa bumi, tsunami dan bencana alam lainnya.
“Hampir setiap hari di Nusantara ini terjadi gempa. Sebagian besar tidak terasa, kadang cukup menggetarkan, kadang meluluhlantakan seperti di Yogya. Kadang gempa itu terjadi di tengah laut dan menghasilkan tsunami yang menyapu semua yang dilewatinya, seperti di Aceh,” demikian Andi Mallarangeng 14 tahun lalu.
Andi Mallarangeng mengatakan, peristiwa bencana alam ini tidak semuanya negatif. Pergerakan lempeng-lempeng di bumi ini juga menimbulkan mineral-mineral berharga termasuk minyak dan gas yang membuat kaya negeri ini.
“Tanya saja pada pada penduduk lereng Gunung Merapi mengapa mereka enggan berpindah ke tempat lain. Jawab mereka jelas, karena daerah lereng Gunung Marapi sangat subur tanahnya,” kata Andi Mallarangeng.
Menurut Andi Mallarangeng, bangsa ini tidak akan meninggalkan Nusantara, walapun gempa sewaktu-waktu datang, gunung meletus bergiliran, atau pun tsunami menghempas dari waktu ke waktu.
“Kita dan anak cucu kita akan tetap tinggal di Nusantara tercinta ini. Karena itu tak ada jalan lain, kita harus bersahabat dengan bencana.... Bersahabat berarti awas dan waspada dengan tanda-tanda alam, dan mempersiapkan diri menghadapinya sewaktu-waktu,” nasihatnya.
Tiga tahun kemudian setelah Andi Mallarangeng menulis tentang persahabatan dengan bencana alam itu, Anggota DPR dari Partai Persatuan Pembangunan (1977-1987), Ridwan Saidi menerbitkan buku berjudul Bencana bersama SBY.