AKANKAH demokrasi bisa mati di negeri ini?
Pertanyaan itu tiba-tiba menyeruak dan menjadi topik diskusi usai buku How Democracies Die viral. Buku karya Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt ini ramai diperbincangkan usai Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan mengunggah foto sedang membaca buku tersebut pada Minggu (22/11).
Buku yang edisi Indonesianya berjudul Bagaimana Demokrasi Mati ini itu berisi hasil penelitian dan pengamatan Levitsky dan Ziblatt terhadap kematian demokrasi di sejumlah negara.
Baca juga: Anies Unggah Foto Sedang Baca Buku How Democracies Die
Dalam buku itu, Levitsky-Ziblatt membeberkan catatan sejarah soal kematian demokrasi yang tak selalu dimulai oleh jenderal militer lewat kudeta. Kisah kematian demokrasi yang monumental justru datang dari proses paling demokratis.
Dua guru besar dari Harvard ini menjadikan karier politik Adolf Hitler, Benito Mussolini, dan Chavez sebagai contoh. Ketiganya gagal meraih tampuk kekuasaan lewat kudeta, namun berhasil menjadi diktator melalui proses yang demokratis.
Menurut Levitsky dan Ziblatt, kematian demokrasi lewat jalur elektoral yang demokratis membuat warga tidak sadar. Banyak orang yang percaya mereka masih hidup dalam demokrasi meski tanda-tanda kediktatoran sudah di depan mata.
Dalam kudeta klasik, kata Levitsky-Ziblatt, kematian demokrasi tampak jelas. Istana dibakar dan presiden terbunuh, dipenjara, atau diasingkan.
Namun hal itu tak terjadi dalam kematian demokrasi lewat pemilu. Pasalnya, konstitusi dan lembaga berlabel demokratis lainnya tetap ada.
Media massa masih bisa terbit, namun "dibeli" penguasa atau ditekan sehingga menyensor diri. Rakyat juga masih bisa mengkritik pemerintah tapi mereka akan menghadapi masalah hukum atau masalah lainnya.
Buku ini menyebut, diktator bisa lahir saat partai politik mulai melemah dan tergiur sosok kharismatik di luar parpol yang punya banyak pendukung.
Ada 4 ciri diktator yang disebut dalam buku ini yakni, menolak aturan main demokrasi, menyangkal legitimasi lawan, menoleransi atau menyerukan kekerasan, dan menunjukkan kesediaan membatasi kebebasan sipil lawan, termasuk media massa.
Sejumlah kalangan menyebut, saat ini demokrasi di Indonesia mengalami kemunduran. Hal itu ditandai dengan semakin minimnya partisipasi publik dalam proses pengambilan kebijakan, menyusutnya kebebasan berekspresi serta kriminalisasi aktivis dan tokoh oposisi.
Mengutip Kompas.com, Peneliti Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) Wijayanto menilai, kondisi demokrasi Indonesia saat ini mengalami kemunduran. Kemunduran tersebut disebabkan kebijakan-kebijakan yang diambil pemerintahan Jokowi hanya fokus pada beberapa sektor.
Baca juga: Peneliti LP3ES: Kebijakan Pemerintahan Jokowi Berdampak Kemunduran Demokrasi
Kebijakan pemerintahan Jokowi yang berdampak pada iklim demokrasi itu terlihat dalam riset yang berjudul Jokowi and The New Developmentalism yang dilakukan The Australian National University.
Riset tersebut menyebutkan bahwa Presiden Jokowi mengambil kebijakan yang fokus pada sektor pembangunan infrastruktur. Namun, pemerintah mengabaikan persoalan lain di Indonesia seperti perlindungan hak asasi manusia dan pemberantasan korupsi.
Kemunduran demokrasi juga terlihat dari kengototan pemerintah dalam proses pembentukan dan pengesahan omnibus law UU Cipta Kerja.
Menurut Wijayanto, pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU Cipta Kerja meski menuai banyak kritik dan penolakan. Teror terhadap orang-orang yang mengkritisi beleid ini termasuk teguran terhadap akademisi juga bentuk kemunduran demokrasi.
Sebelumnya, hasil survei yang dilakukan Indikator Politik Indonesia juga menunjukkan, sebagian besar masyarakat menilai bahwa Indonesia makin tidak demokratis. Persepsi publik terhadap tingkat demokratisasi di Indonesia semakin menurun.
Warga semakin takut menyatakan pendapat dan berdemonstrasi. Upaya mengkritisi dan mengoreksi kebijakan pemerintah ditekan. Caranya beragam mulai dari pembatasan akses, kriminalisasi hingga peretasan.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.