JAKARTA, KOMPAS.com - Guru besar Hukum Agraria Universitas Gadjah Mada (UGM) Maria Sumardjono menilai, tujuan reforma agraria dalam Undang-Undang Cipta Kerja hanya merupakan ilusi. Sebab, terdapat ketentuan mengenai Bank Tanah.
Menurut Maria, latar belakang atau paradigma pembentukan Bank Tanah yakni untuk mempermudah investor memperoleh tanah, bukan untuk reforma agraria.
"Bank tanah itu memang latar belakangnya adalah untuk mempermudah investor untuk memperoleh tanah. Lah kok tiba-tiba disandingkan dengan reforma agraria, ini kan memang paradigmanya itu tidak kompatibel sama sekali," kata Maria dalam pemaparan Anotasi Hukum UU Cipta Kerja, dikutip dari video yang diunggah melalui akun Youtube Kanal Pengetahuan UGM, Senin (9/11/2020).
Baca juga: Guru Besar UGM: Ada Skenario Besar yang Untungkan Investor melalui UU Cipta Kerja
Ketentuan soal pembentukan Bank Tanah diatur pada Pasal 125 UU Cipta Kerja. Pasal itu mengatur bahwa Bank Tanah menjamin ketersediaan tanah dalam rangka ekonomi berkeadilan untuk kepentingan umum, kepentingan sosial, kepentingan pembangunan nasional, pemerataan ekonomi, konsolidasi lahan, dan reforma agraria.
Maria berpendapat, paradigma-paradigma tersebut tidak dapat disatukan ke dalam Bank Tanah karena tidak semuanya saling berkaitan.
"Paradigma untuk pembangunan nasional yang begitu luas kemudian disandingkan dengan reforma agraria, itu kan sangat tidak kompatibel," kata Maria.
Baca juga: Guru Besar FH UGM: Korupsi Merupakan Penghambat Utama dalam Investasi
Selain itu, Maria menambahkan, UU Cipta Kerja tidak menjelaskan asal-usul tanah dari yang akan disediakan oleh Bank Tanah. Undang-undang sapu jagat itu hanya menyebut Bank Tanah dapat melakukan pengadaan tanah.
"Nah pertanyaannya, itu tanahnya dari mana? Tanahnya itu pasti dari masyarakat dan masyarakat hukum adat," ujar Maria.
Tak hanya kehilangan tanah, Maria menyebut masyarakat pun berpotensi kehilangan lapangan pekerjaan dengan adanya Bank Tanah tersebut, karena tanahnya dapat digunakan untuk kepentingan investor.
"Ini nanti menghilangkan lapangan kerja yang sudah ada, untuk menyediakan bagi investor membuka lapangan kerja untuk, kita tidak tahu, untuk pihak lain pasti, bukan dari pihak yang tanahnya sudah tergusur," kata Maria.
Baca juga: Soal UU Cipta Kerja, Guru Besar Hukum Agraria UGM Ingatkan Potensi Korupsi di Bidang Pertanahan
Maria berpendapat, ketentuan soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja belum sepenuhnya jelas.
Misalnya, soal kelembagaan Bank Tanah yang disebut hanya menjadi badan khusus yang kekayaannya merupakan kekayaan negara yang dipisahkan.
"Itu BUMN? Bukan. Itu badan layanan umum? itu bukan. Lalu apa? Ya pokoknya merupakan badan khusus yang kekuasaannya itu sedemikian besar," kata dia.
Kemudian, Maria berpandangan pengaturan soal Bank Tanah juga berpotensi tumpang tindih dengan Peraturan Presiden Nomor 86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria.
Baca juga: Hak Milik Apartemen WNA Dianggap Bertentangan dengan Reforma Agraria
Selama ini pelaksanaan reforma agraria dilaksanakan oleh Gugus Tugas Reforma Agraria (GTRA), termasuk dalam menentukan subyek dan obyek reforma agraria.
Obyek reforma agraria antara lain, eks HGU, HGB, tanah telantar dan tanah negara yang berpotensi menjadi obyek reforma agraria.
Menurut Maria, objek reforma agraria yang diatur dalam perpres akan direbut oleh Bank Tanah.
"Jadi serampangan kalau tidak dikatakan ilusi," ucap Maria.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.