JAKARTA, KOMPAS.com - Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi yang baru saja selesai direvisi digugat ke Mahkamah Konstitusi oleh sejumlah pihak.
Selain mengajukan gugatan formil, para penggugat juga mengajukan gugatan materiil terutama terhadap ketentuan Pasal 15 dan Pasal 87 UU tersebut.
Dalam catatan Kompas.com, setidaknya ada empat pihak yang menggugat UU yang merupakan hasil revisi ketiga dari UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK itu.
Keempatnya yaitu dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia bernama Allan Fatchan Gani dan seorang advokat bernama Priyanto.
Selanjutnya ada pula Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi yang terdiri atas tujuh pemohon, serta dua orang advokat yakni Suhardi dan Linda Yendrawati Puspa.
Berikut rangkuman Kompas.com atas gugatan yang mereka ajukan:
Uji formil
Menurut Allan, proses revisi UU MK bertentangan dengan tata cara pembentukan undang-undang yang diatur Pasal 22A UUD 1945.
Sebab, UU MK direvisi tanpa partisipasi publik serta proses pembahasannya tertutup dengan waktu yang sangat terbatas.
"Naskah akademik perubahan UU MK dibentuk tanpa alasan akademik yang fundamental. Hal tersebut tergambar dari adanya kesalahan metodologi penelitian, tidak ditopang data yang akurat serta beberapa kajian naskah akademik yang disyaratkan oleh UUP3 (Undang-undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan) tidak disertakan," tulis pemohon dalam berkas permohonannya yang diunggah di laman resmi MK RI.
Baca juga: Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi Resmi Ajukan Uji Materi UU MK
Anggapan yang sama juga disampaikan oleh Koalisi Selamatkan Mahkamah Konstitusi. Di dalam permohonan yang tercatat pada Nomor Perkara: 100/PUU-XVIII/2020 pada 9 November 2020, proses pembahasan UU ini dinilai dilakukan secara tertutup, tidak melibatkan publik serta tergesa-gesa.
Koalisi juga menyoroti adanya dugaan tindakan penyelundupan hukum yang dilakukan pembentuk UU dengan dalih menindaklanjuti putusan MK. Selain itu, revisi UU ini juga dinilai tidak memenuhi syarat carry over yang sesuai asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik.
Persoalan batas usia minimal
Sementara itu, permohonan uji materiil yang diajukan keempat pemohon fokus pada persoalan batasan usia yang diatur di dalam Pasal 15 dan Pasal 87 UU ini.
Menurut Allan, adanya batasan usia 55 tahun untuk mencalonkan diri sebagai hakim MK sebagaimana diatur ketentuan Pasal 15 ayat (2) huruf d, berpotensi menimbulkan problem kelembagaaan.