JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Direktur Imparsial, Gufron Mabruri memberikan sejumlah catatan kritis terkait polemik Rancangan Peraturan Presiden (Perpres) tentang Tugas TNI dalam Mengatasi Aksi Terorisme.
"Pertama, pelibatan militer dalam mengatasi terorisme harus menjadi pilihan terakhir, yakni ketika kapasitas penegak hukum sudah tidak bisa lagi mengatasi ancaman yang ada," ujar Gufron dalam diskusi bertajuk 'Menimbang Rancangan Perpres Pelibatan TNI dalam Pemberantasan Terorisme dalam Perspektif Hukum dan HAM', Rabu (4/11/2020).
Menurut dia, pelibatan TNI baru bisa dilakukan jika institusi fungsional tidak mampu menangani persoalan.
Baca juga: Perpres TNI Atasi Terorisme Dinilai Terlalu Normatif
Hal itu menyusul meningkatnya eskalasi ancaman yang terjadi di luar kapasitas penegak hukum. Misalnya, kebutuhan penggunaan keahlian hingga alat-alat yang dimiliki militer dalam mengatasi eskalasi ancaman.
Kedua, pelibatan TNI hanya berfungsi sebagai penindakan sebagaimana Pasal 2 Ayat (1) huruf b dalam Perpres tersebut.
Akan tetapi, itu dengan catatan bahwa penindakan yang dilakukan TNI harus bersifat terbatas dan terukur.
Sedangkan, fungsi penangkalan dan pemulihan tidak perlu diberikan. Sebab, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) bisa menjalankan dua fungsi tersebut.
Ketiga, penggunaan dan pengerahan TNI juga harus atas dasar keputusan politik negara.
Baca juga: Eks Kepala BNPT: Perpres soal Tugas TNI Atasi Terorisme Perlu Pemahaman yang Mendasar
Keputusan yang dibuat otoritas politik itu mengacu pada Pasal 7 Ayat (2) dan (3) UU Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI.
"Jadi tidak bisa sekonyong-konyong TNI masuk begitu saja terlibat dalam keamanan dalam negeri, termasuk mengatasi terorisme," ujar dia.
Menurut Gufron, pengambilan keputusan itu juga perlu dilakukan secara tertulis, tidak sekadar keputusan lisan.
Langkah itu dilakukan sebagai upaya menerapkan akuntabilitas sekaligus pengawasan jika dalam praktiknya terjadi kesalahan.
Baca juga: Anggota Komisi I Pertanyakan Batasan Operasi Perpres TNI Atasi Terorisme