KOMPAS.com - Renolt (48) seorang penderita gagal ginjal, tak putus asa menjalani hemodialisa hingga cangkok ginjal agar bisa sembuh seperti sedia kala.
Semua berawal pada Oktober 2017, ketika kondisi Renolt tiba-tiba drop. Saat itu, dia berobat ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi Semarang.
“Di sana saya divonis gagal ginjal kronis, sehingga harus menjalani dialysis hemodialisa (HD),” kata Renolt, saat diwawancara Kompas.com melalui telepon, Jumat (16/10/2020).
Sebagai informasi, hemodialisa atau cuci darah merupakan prosedur yang dilakukan untuk menggantikan fungsi ginjal dalam menyaring darah.
Baca juga: Tanpa Harus Keluar Rumah, Layanan BPJS Kesehatan Bisa Diakses lewat Pandawa
Renolt sendiri harus menjalani hemodialisa di Semarang karena rumah sakit di daerah asalnya Lamandau, Kalimantan Tengah (Kalteng), fasilitasnya kurang memadai.
Kemudian karena dia berobat menggunakan Jaminan Kesehatan Nasional – Kartu Indonesia Sehat (JKN-KIS), rumah sakit setempat pun merujuk Renolt ke Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. Kariadi Semarang
Menuruti anjuran dokter, Renolt melakukan hemodialisa di beberapa rumah sakit di Pulau Jawa, Sumatera, dan Kalimantan.
“Saya sempat menjalani hemodialisa di RS Telogorejo Semarang, Pangkalan Bun, dan Palembang, sebelum akhirnya ke RS Awal Bros Palangkaraya,” ujar Renolt.
Baca juga: Penugasan Khusus BPJS Kesehatan, Tuntaskan Verifikasi Klaim Covid-19
Renolt bercerita, dalam sekali hemodialisa, dia membutuhkan waktu kurang lebih 4 hingga 5 jam. Hemodialisa itu dilakukannya seminggu dua kali, tepatnya setiap Senin dan Kamis pada pukul 07.00 hingga 12.00.
“Upaya ini saya lakukan karena kalau tidak menjalani hemodialisa, badan terasa sangat lemah, bahkan berjalan saja sulit dan sempoyongan,” ujar Renolt, yang saat ini tinggal di Jalan Mawar Nomor 051, 12 Nanga Bulik, Bulik, Kabupaten Lamandau, Kalteng.
Dalam menjalani hemodialisa, Renolt juga mengiringinya dengan pola makan sehat dan minum secara teratur agar fungsi ginjalnya tetap stabil.
“Minumnya maksimal 600 mililiter (ml) atau segelas kecil dan tidak boleh makan makanan yang mengandung kalium,” jelasnya.
Baca juga: Indeks Kepuasan atas BPJS Kesehatan Capai Skor 84 Persen
Meski telah menjalani hemodialisa cukup lama, Renolt mengaku, pengobatan tersebut hanya bersifat membantu kerja organ ginjal, bukan menyembuhkan penyakitnya.
“Awalnya, saya kira hemodialisa ini bisa menyembuhkan, ternyata tidak. Jadi ibaratnya tubuh seperti mesin karena organ ginjalnya sudah rusak. Jadi ya harus dibantu agar bisa bertahan,” tuturnya.
Namun, Renolt tak putus asa. Dia terus mencari cara untuk sembuh dengan bertanya kepada rekan-rekan seperjuangan dan para dokter.