JAKARTA, KOMPAS.com - Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Presiden (KSP) Ade Irfan Pulungan mengatakan, saat ini lebih banyak perbincangan negatif mengenai Undang-Undang Cipta Kerja, khususnya terkait klaster ketenagakerjaan.
Menurutnya, publik lebih percaya dengan konten yang tersebar di media sosial. Padahal, kata Irfan, banyak informasi yang dapat dikategorikan sebagai hoaks.
"Saya juga susah menjelaskan kepada publik karena kita lebih percaya dengan dunia medsos, yang beredar di media sosial," kata Irfan dalam diskusi daring bertajuk Omnibus Law dan Aspirasi Publik, Sabtu (17/10/2020).
Baca juga: Pengamat: Pemerintah Gagal Lindungi Pekerja dalam Klaster Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja
Beberapa informasi yang menurut Irfan hoaks antara lain soal ketiadaan pesangon bagi pekerja yang kena PHK hingga hak cuti.
Namun, Irfan memastikan hal-hal tersebut tidak benar dan pemerintah mengakomodasi aspirasi publik.
"Banyak informasi yang kita dapatkan di medsos tentang hal-hal yang negatif, apalagi tentang klaster ketenagakerjaan. Terkait misalnya pesangon tidak ada lagi, cuti, dan sebagainya," tutur Irfan.
"Tapi pada prinsipnya sebagaimana kami jelaskan bahwa hal-hal tersebut bisa kami klarifikasi, bahwa hal tersebut tidak benar," ucapnya.
Baca juga: Pembahasan RUU Cipta Kerja Dinilai Cacat Prosedur karena Tertutup dari Publik
Dalam kesempatan itu, ia sekaligus membantah pembentukan UU Cipta Kerja dilakukan secara tertutup.
Irfan mengatakan, seluruh proses pembahasan terbuka dan dapat diakses publik. Menurut Irfan, hal ini dikembalikan kepada publik apakah mau menyimak atau tidak.
"Saya yakini tidak ada yang disembunyikan, tidak ada yang ditutupi terhadap pembahasan-pembahasan dari UU Cipta Kerja. Itu tadi mungkin waktu kita saja yang tidak cukup kuat untuk mencermati secara keseluruhan proses yang ada di DPR," tutur dia.
Baca juga: Pakar Hukum: Pembentukan UU Cipta Kerja Praktik Terburuk Proses legislasi
Sementara, pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengatakan, proses pembentukan omnibus law UU Cipta Kerja bertentangan dengan prosedur dan prinsip ketatanegaraan.
Salah satu indikasinya, pengesahan RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang yang dipercepat dari semula 8 Oktober menjadi 5 Oktober. Setelah pengesahan, draf final UU Cipta Kerja pun berubah-ubah.
Karena itu, Bivitri menilai pembentukan UU Cipta Kerja merupakan contoh praktik buruk proses legislasi.
"Ini praktik yang sangat buruk. Dalam catatan kami bahkan ini yang terburuk dalam proses legislasi selama ini, terutama pascareformasi," kata Bivitri.
Baca juga: Draf RUU Cipta Kerja yang Berubah-ubah...
Rancangan UU Cipta Kerja telah disetujui oleh DPR dan pemerintah dalam Rapat Paripurna, Senin (5/10/2020).
Setelah disahkan, UU Cipta Kerja sempat dikoreksi. Bahkan berbedar draf UU Cipta Kerja dalam berbagai versi jumlah halaman.
Saat ini, draf UU Cipta Kerja yang telah selesai direvisi setebal 812 halaman sudah diserahkan ke Presiden Joko Widodo untuk ditandatangani.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.