JAKARTA, KOMPAS.com - Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus, menilai bahwa pernyataan bahwa pembahasan RUU Cipta Kerja dilakukan secara terbuka hanya klaim sepihak DPR.
Nyatanya, kata Lucius, hingga saat ini belum ada naskah final UU Cipta Kerja yang dapat diakses publik. Menurut dia, hal ini menunjukkan wajah DPR yang tertutup.
"Ketiadaan naskah resmi sebagai rujukan itu sesungguhnya alasan bagi penilaian akan ketertutupan DPR selama proses pembahasan," kata Lucius, saat dihubungi, Kamis (15/10/2020).
Baca juga: Naskah UU Cipta Kerja yang Belum Bisa Diakses Publik dan Tuai Polemik...
Lucius mengatakan, tidak adanya naskah resmi ini menutup peluang bagi publik untuk berpartisipasi memberikan pendapat dan kajian kritis terhadap UU Cipta Kerja.
Ia pun menilai sikap tertutup DPR dan pemerintah yang konsisten sejak pembahasan UU Cipta Kerja ini tak bisa dipandang hanya sebagai sebuah kelalaian.
"Ketakramahan ini tentu saja bukan sekadar spontanitas karena dilakukan secara konsisten. DPR tampaknya sama dengan pemerintah memang punya kepentingan tersembunyi yang mau disisipkan dalam naskah RUU ini," ujar Lucius.
Karena itu, dia menduga memang ada kepentingan tersembunyi dalam pembahasan dan pengesahan UU Cipta Kerja.
Baca juga: Publik Sulit Akses Draf Final RUU Cipta Kerja, KIP Ingatkan Potensi Pelanggaran
Pengesahan yang dilakukan secara tergesa-gesa, menurut Lucius, juga menjadi salah satu indikasi adanya kepentingan menunganggi isi UU Cipta Kerja.
Draf UU Cipta Kerja pun berubah-ubah sejak disahkan pada 5 Oktober 2020. Padahal, paripurna merupakan tingkat pengambilan keputusan tertinggi dalam proses pembentukan undang-undang.
"DPR kita malah aneh, naskah belum beres, sudah berani percepat paripurna. Negara tidak bisa dikelola kacau balau seperti ini," kata Lucius.
"Jika DPR bebas melanggar aturan, mestinya tak ada alasan untuk mengikuti aturan yang mereka buat," ucapnya.
Baca juga: Sudah Diserahkan ke Istana, Draf Final UU Cipta Kerja Belum Bisa Diakses Publik