JAKARTA, KOMPAS.com - Pengesahan UU Cipta Kerja ramai-ramai ditolak oleh berbagai elemen masyarakat sipil.
Massa pekerja/buruh di berbagai daerah, misalnya, menggelar aksi unjuk rasa diikuti mogok kerja pada 6 hingga 8 Oktober. Aksi itu juga diikuti mahasiswa.
Mereka menyuarakan penolakan terhadap UU Cipta Kerja yang isinya dianggap merugikan masyarakat. Proses pembentukannya pun dinilai minim pelibatan publik.
Ketua DPR Puan Maharani dalam rapat paripurna, Senin (5/10/2020), mengatakan, UU Cipta Kerja dinilai mampu membangun ekosistem berusaha yang lebih baik.
Baca juga: Demo Buruh Dibungkam Polisi dengan Alasan Pandemi, Pilkada Jalan Terus
Menurut Puan, pembahasan UU Cipta Kerja yang dimulai DPR dan pemerintah sejak April hingga Oktober dilakukan secara transparan dan cermat.
Dia menegaskan, muatan UU Cipta Kerja mengutamakan kepentingan nasional.
"RUU ini telah dapat diselesaikan oleh pemerintah dan DPR melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang," kata dia.
Meski UU Cipta Kerja diklaim baik bagi kepentingan nasional, elemen buruh tetap menolaknya.
Baca juga: Pusako Unand: Ada 7 Dosa Besar di UU Cipta Kerja
Lantas, mungkinkah UU Cipta Kerja ini dibatalkan? Bagaimana prosedur pembatalannya?
Merujuk pada UU Nomor 12/2011 tentang Peraturan Pembentukan Perundang-undangan, RUU yang telah disahkan DPR menjadi UU harus diserahkan kepada presiden untuk ditandatangani dalam jangka waktu paling lama 30 hari.
Apabila presiden tidak membubuhkan tanda tangan dalam kurun waktu tersebut, RUU dinyatakan sah dan otomatis menjadi undang-undang serta wajib diundangkan.
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati menyatakan, DPR dan pemerintah sebetulnya dapat membatalkan pemberlakuan UU Cipta Kerja.
Baca juga: UU Cipta Kerja dan Potensi Pekerja Kontrak Abadi
Saat itu, UU Nomor 25/1997 dicabut karena mendapatkan penolakan pengusaha dan pekerja/buruh.
Sebelum UU itu akhirnya dicabut, pemerintah dua kali mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perppu) pada 1998 dan 2000 yang isinya menunda pemberlakuan UU Ketenagakerjaan Nomor 25/1997.