JAKARTA, KOMPAS.com - Pihak Mahkamah Agung menjawab kritik sejumlah pihak mengenai maraknya pemotongan hukuman bagi terpidana koruptor setelah peninjauan kembali yang mereka ajukan dikabulkan oleh MA.
Juru Bicara Mahkamah Agung Andi Samsan Nganro menegaskan, permohonan peninjauan kembali (PK) yang dikabulkan MA merupakan koreksi atas kekeliruan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
"Bukan tidak mungkin dalam putusan tersebut terdapat kesalahan atau kekeliruan yang merupakan kodrat manusia, termasuk hakim yang memeriksa dan memutus perkara," kata Andi, Kamis (1/10/2020).
Baca juga: Terkait Pengurangan Hukuman Koruptor, KY: Itu Independensi Hakim
Ia menjelaskan, ada tiga alasan yang dapat menjadi dasar terpidana atau ahli warisnya mengajukan PK, yaitu adanya novum atau bukti baru, ada pertentangan dalam putusan atau antarputusan, serta ada kekhilafan hakim atau kekeliruan yang nyata.
Andi mengatakan, jika alasan tersebut cukup beralasan dan terbukti, tentu MA dapat mengabulkan PK yang diajukan.
Berdasarkan pengamatan MA, lanjut Andi, salah satu alasan pengurangan hukuman adalah ketidakserasian vonis antara satu terpidana dengan yang lain.
Ia mencontohkan, seorang terpidana dihukum tujuh tahun penjara sedangkan terpidana lain dihukum tiga tahun penjara.
Padahal, kedua terpidana itu melakukan perbuatan dengan kualitas perbuatan yang sama.
"Si A dijatuhi hukuman 7 tahun sedangkan si B dipidana 3 tahun. Apakah MA salah kalau hukuman si A diserasikan atau diperbaiki/dikurangi menjadi 5 tahun," kata Andi.
Contoh lainnya, lanjut Andi, seorang terpidana hukumannya dikurangi karena terpidana tersebut sudah mengembalikan kerugian keuangan negara.
"Apakah salah kalau MA dalam tingkat PK mengurangi hukumannya secara proporsional sesuai penjelasan Pasal 4 UU PTPK yang menyatakan, pengembalian kerugian keuangan negara dapat diprtimbangkan sebagai keadaan yang meringankan," kata Andi.
Baca juga: Diskon Hukuman Koruptor, Jangan Sampai Muncul Anekdot Siapa Hakimnya
Ia menambahkan, setiap putusan hakim pun wajib mempertimbangkan keadaan yang memberatkan dan meringankan terdakwa.
Hal inilah yang juga sering dijadikan perimbangan majelis hakim PK untuk mengurangi hukuman terpidana.
"Misalnya peran tetrpidana hanya membantu dia bukan pelaku utama sementara pidana yang dijatuhkan dinilai terlampau berat," ujar Andi.
Sejumlah pihak kritik maraknya pemotongan hukuman para terpidana oleh MA di tingkat peninjauan kembali.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.