Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Wakil Ketua Komisi X Minta Klaster Pendidikan Dicabut dari RUU Cipta Kerja

Kompas.com - 03/09/2020, 10:02 WIB
Haryanti Puspa Sari,
Bayu Galih

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua Komisi X Abdul Fikri Faqih meminta klaster pendidikan dicabut dari omnibus law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja.

Sebab, menurut Fikri, seluruh substansi dalam RUU Cipta Kerja terkait pendidikan, melenceng dari hakikat pendidikan.

"Semua substansi terkait pendidikan, termasuk yang mengubah UU Sisdiknas, UU Pendidikan Tinggi, UU Guru dan Dosen, dan UU Pendidikan Kedokteran harus dicabut, karena sudah melenceng dari hakikat pendidikan dalam konstitusi kita," kata Fikri dalam keterangan tertulis, Rabu (2/9/2020).

Baca juga: Serikat Pekerja Kembali Berunjuk Rasa di DPR, Tolak RUU Cipta Kerja dan PHK Massal

Fikri menilai, ada unsur-unsur pemaksaan di sektor pendidikan menjadi lebih liberal dengan mengubah pasal-pasal di dalam draf RUU Cipta Kerja.

Oleh karenanya, ia menolak segala bentuk justifikasi atas liberalisasi pendidikan, apalagi diperkuat dalam RUU Cipta Kerja.

"Bahkan pembukaan konstitusi UUD 1945 kita langsung menyebut soal kewajiban pemerintah, salah satunya untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, yaitu dengan menyelenggarakan sistem Pendidikan nasional, bukan melepasnya secara komersil,” ujarnya.

Fikri menyoroti Pasal 68 dalam draf RUU Cipta Kerja yang mengubah ketentuan Pasal 62 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Ia mengatakan, dalam perubahannya, terdapat kewajiban institusi pendidikan untuk mengurus izin usaha ke pemerintah pusat.

Baca juga: 4 Ancaman bagi Pekerja Kantoran jika RUU Cipta Kerja Disahkan...

Selain itu, ketentuan lain juga mengatur terkait sanksi pidana dan denda, jika institusi pendidikan tidak memiliki izin usaha dari pemerintah pusat.

"Pasal ini menambah esensi pemaksaan secara hukum, bahwa pesantren-pesantren, madrasah diniyah, serta pendidikan non formal berbasis masyarakat lainnya harus punya izin usaha," ucapnya.

Fikri juga mengkritik perubahan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen dalam RUU Cipta Kerja.

Ia menilai, pasal-pasal dalam RUU Cipta Kerja mendiskriminasi guru dan dosen dalam negeri dan memihak pada pengajar asing.

"Guru dan dosen lokal wajib sertifikasi, sedangkan pengajar asing dikasih karpet merah, ini benar-benar RUU alien," tuturnya.

Baca juga: Saat Artis Ramai-ramai Minta Maaf Usai Promosikan RUU Cipta Kerja...

Lebih lanjut, Fikri mengkritik sikap pemerintah dalam pembahasan legislasi yang tidak konsisten terhadap revisi UU Sisdiknas.

Ia mengatakan, dalam Prolegnas Prioritas Tahun 2020 revisi UU Sisdiknas merupakan UU tersendiri dan usulan pemerintah.

"Kita seharusnya konsisten pada kesepakatan awal, bahwa revisi UU Sisdiknas dibahas terpisah," kata Fikri.

"Keputusan ini disepakati oleh pemerintah sendiri yang dihadiri Menteri hukum & Ham dalam rapat dengan badan legislasi DPR RI saat penentuan Prolegnas," ujar dia.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat saat Bertemu Prabowo Semalam

Presiden Jokowi Ucapkan Selamat saat Bertemu Prabowo Semalam

Nasional
Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Jokowi Siapkan Program Unggulan Prabowo-Gibran Masuk RAPBN 2025

Nasional
CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

CSIS: Mayoritas Caleg Muda Terpilih di DPR Terindikasi Dinasti Politik

Nasional
Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Korlantas Kaji Pengamanan Lalu Lintas Jelang World Water Forum Ke-10 di Bali

Nasional
Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Jokowi Dukung Prabowo-Gibran Rangkul Semua Pihak Pasca-Pilpres

Nasional
Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Pakar Sebut Semua Lembaga Tinggi Negara Sudah Punya Undang-Undang, Hanya Presiden yang Belum

Nasional
Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Saksi Ungkap SYL Minta Kementan Bayarkan Kartu Kreditnya Rp 215 Juta

Nasional
Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Saksi Sebut Bulanan untuk Istri SYL dari Kementan Rp 25 Juta-Rp 30 Juta

Nasional
Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Tata Kelola Dana Pensiun Bukit Asam Terus Diperkuat

Nasional
Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Jelang Disidang Dewas KPK karena Masalah Etik, Nurul Ghufron Laporkan Albertina Ho

Nasional
Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Kejagung Diminta Segera Tuntaskan Dugaan Korupsi Komoditi Emas 2010-2022

Nasional
PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

PKB-Nasdem-PKS Isyaratkan Gabung Prabowo, Pengamat: Kini Parpol Selamatkan Diri Masing-masing

Nasional
Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Saksi Sebut Dokumen Pemeriksaan Saat Penyelidikan di KPK Bocor ke SYL

Nasional
Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Laporkan Albertina ke Dewas KPK, Nurul Ghufron Dinilai Sedang Menghambat Proses Hukum

Nasional
TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P 'Happy' di Zaman SBY...

TKN Sebut Pemerintahan Prabowo Tetap Butuh Oposisi: Katanya PDI-P "Happy" di Zaman SBY...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com