JAKARTA, KOMPAS.com - Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Aswar Hasan berharap, putusan Mahkamah Konstitusi (MK) atas permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran tidak memasung kebebasan berekspresi para pembuat konten di media sosial.
Permohonan uji materiil itu diajukan oleh PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) dan PT Visi Citra Mitra Mulia (Inews TV).
"Jadi kekebebasan berekspresi jangan sampai terpasung dengan adanya gugatan itu dan keputusan MK jangan sampai memasung kebebasan berekspresi masyarakat," kata Aswar kepada Kompas.com, Jumat (28/8/2020).
Pihak pemohon menggugat Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran yang menyebut, “Penyiaran adalah kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau sarana transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perangkat penerima siaran."
Pemohon menilai pasal itu menyebabkan perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional yang menggunakan frekuensi radio, dengan penyelenggara penyiaran yang menggunakan internet seperti Youtube dan Netflix.
Sebab, Pasal 1 angka 2 UU Penyiaran hanya mengatur penyelenggara penyiaran konvensional dan tak mengatur pengelenggara penyiaran terbarukan. Oleh sebab itu, pemohon meminta MK menyatakan pasal tersebut tak kekuatan hukum tetap sepanjang tidak mengatur penyelenggara penyiaran berbasis internet untuk tunduk pada pasal tersebut.
Baca juga: RCTI dan Inews Gugat UU Penyiaran ke MK karena Tak Atur YouTube hingga Netflix
Namun, menurut pemerintah, jika permohonan itu dikabulkan maka masyarakat tidak akan bisa lagi mengakses media sosial secara bebas.
Sebab, layanan over the top (OTT) yang menggunakan internet akan disamakan dengan layanan penyiaran. Sehingga, tayangan audio visual akan diklasifikasikan sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin siar.
Terkait permohonan uji materiil, Aswar menyatakan tidak setuju jika semua pembuat konten harus memiliki izin siar.
Menurut Aswar, pihak yang seharusnya mengajukan izin siar ke pemerintah hanya pembuat konten yang mengarah pada kepentingan bisnis.
"Tapi kalau kebebasan berekspresi seperti zoom untuk webinar dan sebagainya, nah itu tidak perlu minta izin menurut saya, tetapi isinya yang harus dapat dipertanggungjawabkan kalau ada yang bermasalah," ungkap dia.
Baca juga: 4 Fakta soal Gugatan RCTI atas UU Penyiaran dan Potensi Dampaknya
Di sisi lain, Aswar menyatakan sepakat soal keadilan antara lembaga penyiaran konvensional berbasis frekuensi publik dan lembaga penyiaran yang menggunakan internet.
Ia menilai, penyedia konten siaran seperti Netflix dan YouTube harus memiliki izin siar.
"Bukan pada praktek ekspresi warga aspirasinya sebagai citizenship di YouTube. Zoom dan Instagram," jelas Aswar.
Sebelumnya, Pemerintah meminta MK menolak permohonan RCTI dan Inews TV yang menggugat UU Penyiaran.