JAKARTA, KOMPAS.com - Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD berujar, banyak Undang-Undang yang dibuat berdasarkan political trade off. Artinya, UU tersebut lahir dari hasil kompensasi.
Ia mengungkap, ketika pemerintah mengusulkan pembentukan suatu Undang-Undang, DPR sebagai legislator kerap kali meminta kompensasi atas pembuatan Undang-Undang tersebut.
"Kalau pemerintah mengusulkan UU ini, DPR mengusulkan gini kompensasinya, dan DPR harus diberi begitu. Sehingga banyak juga UU itu beradasar political trade off," kata Mahfud saat menghadiri rilis survei Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) tentang kondisi demokrasi Indonesia di masa Covid-19 secara virtual, Minggu (23/8/2020).
Baca juga: Sebut RUU Cipta Kerja Bermasalah, Komnas HAM: Indonesia Tak Kenal Undang-undang Payung
Menurut Mahfud, saat masih menjabat sebagai Ketua Mahkamah Konstitusi pada tahun 2008 hingga 2013, dirinya banyak membatalkan Undang-Undang hasil political trade off.
Meskipun Undang-Undang dengan political trade off tetap sah secara prosedural, kata Mahfud, hal itu menjadi perilaku koruptif.
"Ini koruptif. Kalau pemetintah ingin pasal ini, tolong saya ingin pasal ini. Begitu sih sah saja secara prosedural, tapi itu kan tidak baik," ujarnya.
Saat ini, lanjut Mahfud, korupsi banyak dibangun melalui demokrasi. Padahal, pemerintahan Indonesia dilaksanakan dengan menganut sistem demokrasi itu sendiri.
Baca juga: Sekjen MUI Ingatkan DPR Bikin Undang-undang Sesuai Pancasila dan UUD 1945
Mahfud mengatakan, pada era kepemimpinan Presiden Soeharto korupsi masif tetapi terjadi di lingkungan pemerintahan saja. Sementara sekarang, korupsi menggurita di mana-mana.
"Secara umum ada yang menilai bahwa meskipun kita milih (sistem pemerintahan) demokrasi, korupsi yang terjadi di indonesia sekarang ini banyak yang dibangun melalui demokrasi. Jadi korupsi itu dibuat secara demokratis melalui keputusan-keputusan di DPR," kata dia.
Diberitakan, hasil survei lembaga penelitian Saiful Mujani Research & Consulting (SMRC) menunjukkan, kepuasan masyarakat terhadap pelaksanaan demokrasi di Indonesia mencapai 67 persen.
Baca juga: Survei SMRC: Kepuasan Publik terhadap Jalannya Demokrasi Turun Tajam Selama Pandemi
Angka tersebut menurun tajam dibandingkan dengan kepuasan masyarakat terhadap kondisi demokrasi sebelum pandemi Covid-19.
Hal ini disampaikan oleh Pendiri SMRC Saiful Mujani, saat merilis survei tentang kondisi demokrasi Indonesia di masa Covid-19, Minggu (23/8/2020).
"Kepuasan terhadap jalannya demokrasi, 67 persen mengatakan sangat puas atau cukup puas, yang mengatakan kurang atau tidak puas sama sekali sekitar 27 persen secara nasional," kata Saiful.
Saiful mengatakan, sebelum pandemi Covid-19 terjadi di Tanah Air, 74 persen masyarakat mengaku puas dengan pelaksanaan demokrasi.
Pada bulan Juni 2020 kemarin, angka itu sempat merosot tajam hingga 59 persen. Meski belum sepenuhnya pulih, namun survei terbaru SMRC menunjukkan kepuasan masyarakat terhadap demokrasi saat ini mulai naik kembali.
"Jadi kita melihat ini indikasi Covid memunculkan rasa tidak puas terhadap demokrasi," ujar Saiful.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.