JAKARTA, KOMPAS.com - Hasil riset Setara Institute menunjukkan, produk undang-undang (UU) yang dihasilkan oleh DPR dan pemerintah belum memberikan hak atas kepastian hukum dan hak untuk bebas dari diskriminasi.
Riset dilakukan atas dalil yang diberikan pemohon pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jika merujuk pada penggunaan dalil pembela yang digunakan oleh para pemohon, dapat dimaknai bahwa produk UU yang merupakan hasil kerja DPR dan Presiden, dipersepsi belum solid dalam hal penjaminan hak atas kepastian hukum, hak untuk bebas dari diskriminasi, dan konsisten dengan prinsip negara hukum,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute Ismail Hasani, melalui keterangan tertulis, Selasa (18/8/2020).
Sepanjang periode 10 Agustus 2019 hingga 18 Agustus 2020, terdapat 44 UU yang diujikan di MK.
Ismail mengatakan, pemohon pengujian UU kerap menggunakan dalil mengenai pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum, seperti diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Menurut Ismail, pasal tersebut digunakan pemohon sebanyak 42 kali. Kemudian, Pasal 1 ayat (3) tentang Negara Indonesia adalah negara hukum digunakan sebanyak 14 kali.
Selanjutnya, dalil Pasal 27 ayat (1) yang menyatakan, setiap orang berhak bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apapun, digunakan sebanyak 11 kali.
Baca juga: Setara Institute Catat 73 Kasus Pelanggaran Terhadap Aktivis HAM di Era Jokowi
Setara Institute juga menemukan bahwa batu uji tersebut juga menjadi yang paling banyak digunakan bagi MK untuk mengabulkan atau menolak permohonan pengujian UU.
“Temuan ini menjadi catatan penting bagi lawmakers untuk terus memastikan kinerja pembentukan UU yang lebih berkualitas,” ucap Ismail.
Hasil riset Setara Institute ini merupakan laporan kinerja MK selama periode 10 Agustus 2019 hingga 18 Agustus 2020. Dalam periode tersebut MK mengeluarkan 75 putusan pengujian UU.
Rinciannya, 4 putusan kabul, 27 putusan tolak, 32 putusan tidak dapat diterima, 2 putusan gugur, dan 10 putusan ketetapan.
Baca juga: Di Sidang Tahunan MPR, Jokowi Laporkan Kinerja MK, KY, dan MA
Dari total putusan, Setara mengkategorikan lima putusan dengan tone positif. Artinya, putusan yang berkualitas baik dan progresif untuk menjawab masalah konstitusionalitas, memperkuat prinsip rule of law, serta promosi HAM.
Sementara, Setara tidak menemukan putusan dengan tone negatif. Untuk 70 putusan lainnya dikategorikan dalam tone netral, di mana sudah seharusnya MK memutus perkara yang dipersoalkan.
Selain kualitas putusan, Setara juga menyoroti perihal manajemen perkara, dinamika implementasi kewenangan MK, hingga catatan serta rekomendasi bagi lembaga tersebut.
Riset tersebut dilakukan dalam rangka peringatan Hari Konstitusi yang jatuh setiap 18 Agustus.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.