JAKARTA, KOMPAS.com - Kasus kekerasan seksual yang mengemuka akhir-akhir ini di media sosial maupun media massa ibarat sebuah fenomena gunung es.
Para korban yang sebelumnya memilih untuk diam, kini mulai berani bersuara bahwa mereka telah dilecehkan oleh pelaku.
Langkah ini dinilai cukup positif mengingat pelaku kekerasan seksual seharusnya mendapatkan sanksi yang tegas guna mengantisipasi terulangnya kejadian serupa di kemudian hari.
"Ini hal yang sangat positif. Para korban jangan takut untuk speak up atas kasus kekerasan seksual atau apapun itu yang dialaminya baik secara daring maupun offline," kata Wakil Ketua Komisi III Ahmad Sahroni seperti dilansir dari Antara, Selasa (11/8/2020).
Baca juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Jadi Alasan Urgensi Pengesahan RUU PKS
Selama ini, menurut dia, masih banyak korban kekerasan seksual yang memilih untuk bungkam. Hal itu tidak terlepas dari kekhawatiran atas cap negatif yang mungkin akan diterima oleh para korban dari masyarakat.
Padahal, menurut Sahroni, keterbukaan mereka diharapkan dapat membuka mata masyarakat. Sehingga, publik pun mendukung korban dan menghindari victim blaming.
Hal senada juga disampaikan oleh Pelaksana Harian Deputi Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA) Ratna Susianawati, dosen Fakultas Psikologi Universitas Surabaya Patrick Humbertus, serta Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Livia Iskandar.
"Banyak yang terjadi tetapi tidak berani melapor. Banyak kasus yang mungkin lebih besar tetapi tertutup," kata Ratna.
Seperti pada kasus fetish kain jarik yang dilakukan tersangka G di Surabaya, Jawa Timur.
Baca juga: Kasus Fetish Kain Jarik, Polisi: Pengakuan Tersangka Ada 25 Korban
Menurut Ratna, kasus ini akhirnya berhasil terungkap setelah salah seorang korban mengungkap hal tersebut melalui media sosial.
Belakangan, sejumlah korban G pun mulai bersuara. Berdasarkan hasil penyelidikan yang dilakukan Polrestabes Surabaya, G telah melakukan perbuatannya sejak 2015.
Setidaknya, berdasarkan penuturan G, ada 25 orang yang sudah menjadi korban perilaku menyimpang pelaku.
Menurut Ratna, tindakan G merupakan bentuk penyimpangan seksual. Kasus-kasus kekerasan seksual yang di luar nalar umum juga harus diantisipasi untuk melindungi masyarakat, tidak hanya perempuan karena faktanya laki-laki pun bisa menjadi sasaran kekerasan seksual.
"Kasus ini semakin mendorong Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual disahkan untuk menjadi payung hukum dalam penanganan kekerasan seksual dari hulu hingga hilir meliputi pencegahan, penanganan, pemulihan korban, dan penegakan hukum yang bisa menimbulkan efek jera," katanya.
Baca juga: Marak Kasus Kekerasan Seksual Dinilai Jadi Alasan Urgensi Pengesahan RUU PKS