JAKARTA, KOMPAS.com - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mendesak pemerintah mengalokasikan anggaran yang memadai untuk pemenuhan perlindungan saksi dan korban tindak pidana perdagangan orang (TPPO).
"Pemerintah agar memberikan alokasi anggaran yang memadai. Mengingat para korban yang mengalami tindak kekerasan dapat mengalami penderitaan, baik fisik maupun psikis yang memerlukan perawatan dalam jangka panjang," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Menurut Livia, alokasi anggaran tersebut diperlukan sampai dengan tingkat pemerintah daerah agar tercapainya bantuan rehabilitasi psikososial bagi korban.
Baca juga: Sejak 2015, 704 Korban TPPO Ajukan Perlindungan ke LPSK
Selain itu, LPSK merekomendasikan pemerintah daerah, kementerian, dan lembaga terkait untuk rutin melakukan sosialiasi dalam rangka pencegahan terjadinya TPPO dan meningkatkan peluang kerja di dalam negeri.
Tak hanya itu, pihaknya juga meminta Polri dan Kejaksaan Agung (Kejagung) secara terencana dan terukur mengembangkan kapasitas petugasnya dalam penanganan perkara TPPO.
"Dan meningkatkan integritas petugas dalam pelaksanaan tugasnya, agar tidak terkesan tebang pilih dan pilih kasih dalam penegakan hukum," ucap dia.
LPSK mencatat, terdapat 704 korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan sejak 2015.
"Total, sebanyak 704 jumlah korban TPPO yang mengajukan permohonan perlindungan ke LPSK sejak 2015 hingga Juni 2020," ujar Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi dalam keterangan tertulis, Senin (3/8/2020).
Secara akumulasi, angka permohonan perlindungan korban TPPO setiap tahunnya menunjukkan kenaikan.
Adapun dari total korban tersebut terdiri dari 438 wanita dan 266 pria. Di antara korban tersebut, 147 korban merupakan perempuan dengan status masih anak di bawah umr.
"Bila dilihat domisili korban TPPO, Provinsi Jawa Barat berada pada posisi teratas dengan angka 28,98 persen, diikuti DKI Jakarta 14,77 persen, dan NTT 8,24 persen," kata Edwin.
Baca juga: Bareskrim Temukan Bukti TPPO terkait Kasus ABK WNI di Kapal Long Xing
Edwin mengatakan bahwa memerangi perdagangan manusia bukanlah hal yang mudah.
Hal itu tak lepas karena sifat tersembunyi dari perdagangan manusia nyaris tidak mungkin untuk memahami ruang lingkup permasalahan tersebut.
Terlebih, situasi saat ini tengah dalam kondisi pandemi Covid-19.
Bahkan, lanjut Edwin, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sendiri mengkhawatirkan Covid-19 membuat tugas mengidentifikasi korban perdagangan manusia semakin sulit.
Sebab, mereka rawan terkena virus, minim pencegahannya dan memiliki sedikit akses kesehatan untuk memastikan pemulihan mereka.
"Menjadi tantangan dari situasi itu ialah karena negara-negara menyesuaikan prioritas mereka selama pandemi," ucap Edwin.