Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Raden Muhammad Mihradi
Dosen

Direktur Pusat Studi Pembangunan Hukum Partisipatif
dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Pakuan.

Prasangka Demokrasi

Kompas.com - 27/07/2020, 16:16 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini


AWALNYA demokrasi virtual itu---di Indonesia---seperti perbincangan sore hari. Sambil menikmati secangkir wedang jahe dan pisang goreng, dikalkulasi untung ruginya. Risikonya. Demikian pula pro kontranya.

Jadi, demokrasi virtual disadari tidak bisa ditolak, namun masih dianggap uji coba yang belum menyeluruh. Sekadar ricuh pengguna media sosial.

Pandemi Covid-19 menjungkirbalikkan soal itu. Demokrasi virtual tidak lagi soal pro kontra. Tapi menjadi niscaya. Bahkan, semua perikehidupan, mulai dari arisan sampai sekolah, semua menggunakan jejaring virtual.

Yang fisik malah mulai terpinggirkan. Lebih kompleks bertemu secara fisik. Mesti ikut protokol. Masker tak boleh lepas. Jarak harus dijaga.

Esensi demokrasi

Apapun pilihan berdemokrasi, esensinya sama: memastikan daulat rakyat menjadi naluri berbangsa.

Pilihan-pilihan teknis, apakah menggunakan virtual, atau datang ke kotak TPS, misalnya, bukan menjadi soal---dalam demokrasi---sepanjang transparansi, kebebasan dan supremasi hukum dirawat.

Persoalannya, faktanya tidak sesederhana itu. Naluri keretakan purba sering menjadi tantangan dalam demokrasi di era virtual.

Pertama, demokrasi masih dipusingkan oleh sensasi-sensasi berbasis etnis, agama atau kelompok.

Kemajemukan dalam bernegara seperti pidato yang diulang-ulang namun mengalami kemiskinan dalam realitas.

Padahal, basis bernegara kita---dulu sampai sekarang---bertahan karena kemajemukan. Perbedaan etnik bahkan cara pandang menjadi kekayaan batin untuk mengelola kompleksitas interaksi di masyarakat. Hal ini yang kemudian mengalami kelongsoran.

Kedua, sensasi berbasis etnis, agama atau kelompok di atas dikapitalisasi oleh berkembangnya era post-truth yang ditandai merebaknya hoaks.

Kebenaran bukan soal kesepadanan antara kata dan fakta. Namun, lebih pada siapa yang menyampaikan. Jika bukan dari golongan kita maka kebenaran dinilai kebohongan. Sebaliknya, bila dari kelompok kita, kebohongan bisa disulap jadi kebenaran.

Semua hanya didasarkan pada sentimentalitas baik moral maupun kultural yang sukar dipertanggungjawabkan.

Ketiga, supremasi hukum. Secara universal, hukum dilambangkan oleh putri yang memegang timbangan ditutup matanya. Kini, tutup mata itu bisa dibuka selubungnya. Untuk mengintip, apakah yang melanggar hukum dari kelompok yang seide dengan kita atau bukan. Apakah yang melanggar kaum berpunya atau marjinal.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah, Gubernur BI Pastikan Akan Ada Intervensi

Nilai Tukar Rupiah Terus Melemah, Gubernur BI Pastikan Akan Ada Intervensi

Nasional
PDI-P Dukung PPP Lakukan Komunikasi Politik Supaya 'Survive'

PDI-P Dukung PPP Lakukan Komunikasi Politik Supaya "Survive"

Nasional
PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PAN: Jangan Cuma Bicara, tapi Akui Kemenangan 02

PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo-Gibran, PAN: Jangan Cuma Bicara, tapi Akui Kemenangan 02

Nasional
Kesimpulan Tim Ganjar-Mahfud: Jokowi Lakukan Nepotisme dalam 3 Skema

Kesimpulan Tim Ganjar-Mahfud: Jokowi Lakukan Nepotisme dalam 3 Skema

Nasional
Diduga Terima Gratifikasi Rp 10 M, Eko Darmanto Segera Disidang

Diduga Terima Gratifikasi Rp 10 M, Eko Darmanto Segera Disidang

Nasional
PKB Sebut Prabowo dan Cak Imin Belum Bertemu Setelah Pilpres 2024

PKB Sebut Prabowo dan Cak Imin Belum Bertemu Setelah Pilpres 2024

Nasional
Megawati Serahkan Amicus Curiae terkait Sengketa Pilpres, Harap MK Mengetuk 'Palu Emas'

Megawati Serahkan Amicus Curiae terkait Sengketa Pilpres, Harap MK Mengetuk 'Palu Emas'

Nasional
PKB Baru Tentukan Langkah Politik Setelah Putusan MK soal Sengketa Pilpres

PKB Baru Tentukan Langkah Politik Setelah Putusan MK soal Sengketa Pilpres

Nasional
Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Dampak Geopolitik Usai Iran Serang Israel

Jokowi Kumpulkan Menteri Bahas Dampak Geopolitik Usai Iran Serang Israel

Nasional
Pasca-bentrokan Brimob dan TNI AL di Sorong, Pangkoarmada III Pastikan Tindak Tegas Para Pelaku

Pasca-bentrokan Brimob dan TNI AL di Sorong, Pangkoarmada III Pastikan Tindak Tegas Para Pelaku

Nasional
Kubu Ganjar-Mahfud Sebut Keterangan 4 Menteri di Sidang MK Tak Menjawab Fakta Politisasi Bansos

Kubu Ganjar-Mahfud Sebut Keterangan 4 Menteri di Sidang MK Tak Menjawab Fakta Politisasi Bansos

Nasional
PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo, Golkar: Nanti Dibahas di Internal KIM

PPP Siap Gabung Pemerintahan Prabowo, Golkar: Nanti Dibahas di Internal KIM

Nasional
Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Ganjar-Mahfud Tegaskan Tetap pada Petitum Awal

Serahkan Kesimpulan ke MK, Kubu Ganjar-Mahfud Tegaskan Tetap pada Petitum Awal

Nasional
Tim Ganjar-Mahfud Serahkan Kesimpulan ke MK, Sebut 5 Pelanggaran yang Haruskan Pilpres Diulang

Tim Ganjar-Mahfud Serahkan Kesimpulan ke MK, Sebut 5 Pelanggaran yang Haruskan Pilpres Diulang

Nasional
3 Cara Isi Saldo JakCard

3 Cara Isi Saldo JakCard

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com