JAKARTA, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 memberi dampak signifikan terhadap perkawinan anak di Indonesia.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Puspayoga mengatakan, pihaknya tengah berupaya untuk memperluas dan memperkuat sinergi dalam menghapus praktik perkawinan anak.
Pasalnya, menurut Bintang, United Nations Population Fund (UNFPA) telah memprediksi bahwa akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak di dunia pada rentang waktu 2020-2030, akibat pandemi Covid-19.
Berdasarkan analisis UNFPA, peningkatan praktik perkawinan anak terjadi karena makin tingginya angka kemiskinan sebagai dampak dari pandemi.
"Prediksi UNFPA mengatakan, akan terjadi sekitar 13 juta perkawinan anak pada rentang waktu 2020-2030 akibat pandemi ini," ujar Bintang dalam diskusi bertajuk Pendidikan Hukum untuk Penanganan Kasus Perkawinan Anak secara daring, Jumat (24/7/2020).
Baca juga: Menghapus Praktik Perkawinan Anak
Praktik perkawinan anak akan memberi dampak buruk yang berkepanjangan, mulai dari persoalan yang terkait faktor kesehatan hingga kemiskinan.
Bintang menuturkan, berdasarkan penelitian badan kesehatan dunia WHO pada Januari 2020, perempuan di bawah usia 20 tahun secara fisik belum siap mengandung dan melahirkan.
Risikonya, kelahiran bayi dengan berat badan rendah, prematur dan komplikasi kehamilan lainnya.
Dampak lainnya adalah kekerasan dalam rumah tangga, hingga pemberian pola asuh tidak tepat pada anak.
Selain itu, WHO juga menyampaikan bahwa perkawinan anak usia kurang dari 18 tahun sering menyebabkan ketidaksiapan mental sehingga banyak risiko yang akan dihadapi.
"Itu membuat anak putus sekolah yang menghilangkan haknya untuk mendapat pendidikan, kesempatan yang lebih luas dalam bekerja, serta mengalami tingkat stres tinggi karena tidak siap punya anak," tutur dia.
Baca juga: Cegah Perkawinan Anak, Kemendes PDTT Kembangkan Advokasi Hukum di Desa
Hal tersebut kemudian berdampak pada aspek ekonomi, karena pendidikan rendah berkorelasi dengan pendapatan yang rendah pula.
"Selain itu, karena memiliki beban baru untuk menafkahi keluarga, perkawinan anak meningkatkan risiko naiknya pekerja anak," kata dia.
"Berbagai hal ini menimbulkan risiko tinggi kemiskinan, tidak hanya pada generasi tersebut, tapi generasi berikutnya," lanjut Bintang.
Bintang mengatakan, kasus terbesar perkawinan anak di Indonesia terjadi di pedesaan.