Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kultur Kekerasan dan Urgensi Pengesahan RUU PKS

Kompas.com - 09/07/2020, 07:49 WIB
Tsarina Maharani,
Kristian Erdianto

Tim Redaksi

JAKARTA, KOMPAS.com - Mengakarnya kultur kekerasan hingga di tataran para pembuat kebijakan dinilai jadi salah satu penyebab pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan seksual (PKS) sulit diselesaikan.

Bukannya mengupayakan pembahasan dan pengesahan, DPR dan pemerintah malah memutuskan mencabut RUU PKS dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020, karena buntunya proses politik.

"Budaya kekerasan ini sangat kuat di berbagai level, termasuk mohon maaf di level pemerintah dan DPR. Ini yang menyebabkan panjang sekali pembahasannya," kata Ketua Pusat Kajian Law, Gender, and Society (LGS) Fakultas Hukum UGM, Sri Wiyanti Eddyono, dalam sebuah diskusi daring, Rabu (8/7/2020).

Baca juga: Kekecewaan Masyarakat terhadap DPR atas Penundaan Pembahasan RUU PKS

Perempuan yang akrab disapa Iyik itu mengatakan, kekerasan seksual dianggap sebagai hal yang biasa saja, bahkan kerap ditoleransi.

Selain itu, kekerasan seksual lebih dianggap sebagai pelanggaran nilai moralitas, bukan sebagai kejahatan yang dapat dihukum.

"Harus kita akui bahwa budaya kekerasan masih sangat kuat. Karena budaya kekerasan menganggap kekerasan biasa-biasa saja, kekerasan seksual tidak terlalu penting bahkan menoleransi," ujarnya.

Baca juga: Pusat Kajian Gender UGM: Kekerasan Seksual Dianggap Tak Terlalu Penting, Bahkan Ditoleransi

Padahal, kata Iyik, sudah banyak korban kasus-kasus kekerasan seksual. Iyik menegaskan bahwa bangunan hukum Indonesia harus berkeadilan.

Ia pun menyinggung soal pandangan kelompok-kelompok agama tertentu yang menilai RUU PKS ini merupakan produk liberal.

Iyik mengatakan, kepentingan-kepentingan kelompok tersebut makin memberatkan pembahasan RUU PKS.

"Hal lain yang juga muncul adalah adanya pandangan kelompok agama tertentu yang mengatasnamakan agama yang menganggap RUU ini adalah produk liberal karena mengangkat kesetaraan gender, dan itu dimunculkan di pemerintah dan DPR," ucapnya.

Kekosongan hukum Perlindungan korban kekerasan seksual

Iyik menegaskan, RUU PKS sangat penting untuk segera dibahas dan disahkan DPR bersama pemerintah.

Sebab, menurut Iyik, saat ini ada kekosongan perlindungan hukum terhadap kasus-kasus kekerasan seksual. Iyik menyebut, perlindungan hukum dan layanan bagi korban kekerasan seksual sangat terbatas.

"Saya kira kita semua setuju, RUU ini sebagai afirmasi terhadap kesenjangan hukum terhadap perlindungan korban. Jadi afirmasi, mengoreksi peraturan atau sistem peradilan pidana yang selama ini abai terhadap korban. Dengan demikian, demi kemanusiaan yang bermartabat khususnya bagi korban kekerasan seksual," kata Iyik.

Baca juga: Pusat Kajian Gender UGM: Tak Semua Bentuk Kekerasan Seksual Diatur Undang-undang

Menurutnya, perundang-undangan yang berlaku saat ini tidak mengenal istilah kekerasan seksual. Padahal kasus kekerasan seksual beragam bentuknya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya


Terkini Lainnya

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

TNI Kirim Payung Udara, Bisa Angkut 14 Ton Bantuan untuk Warga Gaza Via Udara

Nasional
Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Tersangka Kasus Korupsi Timah Diyakini Bisa Bertambah 2-3 Kali Lipat jika Diusut Lewat TPPU

Nasional
Pakar Hukum Duga Ada 'Orang Kuat' Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Pakar Hukum Duga Ada "Orang Kuat" Lindungi Kasus Korupsi Timah yang Jerat Harvey Moeis

Nasional
Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia 'The New Soekarno'

Gerindra: Prabowo Tidak Cuma Janji Kata-kata, Dia "The New Soekarno"

Nasional
TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

TNI Kirim 900 Payung Udara untuk Salurkan Bantuan ke Warga Palestina

Nasional
Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Terseretnya Nama Jokowi dalam Pusaran Sengketa Pilpres 2024 di MK...

Nasional
Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Serangan Balik KPU dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK...

Nasional
Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Soal Flu Singapura, Menkes: Ada Varian Baru Tapi Tidak Mematikan Seperti Flu Burung

Nasional
Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Kasus yang Jerat Suami Sandra Dewi Timbulkan Kerugian Rp 271 Triliun, Bagaimana Hitungannya?

Nasional
Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Menkes Minta Warga Tak Panik DBD Meningkat, Kapasitas RS Masih Cukup

Nasional
Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Kursi Demokrat di DPR Turun, AHY: Situasi di Pemilu 2024 Tidak Mudah

Nasional
Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Serba-serbi Pembelaan Kubu Prabowo-Gibran dalam Sidang Sengketa Pilpres di MK

Nasional
Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Kecerdasan Buatan Jadi Teman dan Musuh bagi Industri Media

Nasional
Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Saat Sengketa Pilpres di MK Jadi Panggung bagi Anak Yusril, Otto, Maqdir, dan Henry Yoso...

Nasional
Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Pemerintah Kembali Banding di WTO, Jokowi: Saya Yakin Kita Mungkin Kalah Lagi, tapi...

Nasional
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com